KHLJ 1958 adalah
pelaksanaan dari pasal 13 Piagam PBB yang mengandung ketentuan mengenai
kodifikasi (codification) dan perkembangan progresif HI (The progressive
development of internasional law), dengan membentuk Panitia Hukum Internasional
(PHI) atau International Law Commission (ILC), yang terdiri dari ahli2 hukum
terkemuka dari berbagai bangsa dan bermacam-macam sistem hukum.
Arti
Batas-batas Tugas KONFERENSI HUKUM LAUT JENEWA
1958 Berdasarkan Resolusi
1.
Segi tehnis dari masalah hukum laut
adalah segi yang berhubungan dengan pengukuran dan pemetaan dari klaim Negara-negara atas laut yang berbatasan dengan
pantainya baik yang berupa laut teritorial, selat-selat, dan dataran kontinen Segi tehnis lain yaitu kemajuan-kemajuan dan tehnik cara-cara
penangkapan ikan dan pengambilan hasil laut lainnya. Persoalan dataran/landas kontinen
(continental shelf), Masalah
sosio-ekonomi yaitu dicapainya batas-batas kemungkinan daripada laut sebagai
sumber kekayaan.
2.
Segi biologis mengenai penyelidikan kehidupan ikan dan mahluk laut lainnya
(marine biology), untuk menjamin kelangsungan dari kekayaan hayati laut
tersebut sebagai sumber kehidupan manusia.
3.
Segi ekonomi dari masalah hukum laut mengenai hubungan antara kebutuhan dan
persediaan kekayaan laut (kekayaan minieral, hayati maupun nabati) secara
total.
4.
Segi politik dari masalah laut adalah pada saat manusia telah terorganisir
dalam satuan politik yang bebas satu sama lainnya sebagai negara yang
berdaulat, yang mempunyai pemerintah sendiri, penduduk dan wilayah tertentu
melalui tindakan/praktek negara tersebut, terutama dalam aspek socio-ekonomis.
TUGAS PEKERJAAN KONFERENSI
Merumuskan kaidah hukum laut publik dengan memperhatikan sepenuhnya,
perubahan yang terjadi, baik dalam bidang politik yaitu (lahirnya negara baru
setelah PD II/negara berkembang) maupun akibat kemajuan teknologi modern yaitu
perkembangan cara pengambilan kekayaan mineral dan hayati laut.
PERSIAPAN KONFERENSI HUKUM LAUT JENEWA TAHUN 1958
Pada sidang pertama 1949 PHI PBB menyusun sebuah daftar masalah2 yang perlu
dibahas yaitu soal laut lepas dan laut wilayah (laut territorial), dan pada
sidang yang ketiga 1951 laut teritorial baru dibahas berdasarkan Resolusi MU
PBB 374 (IV).
Pekerjaan PHI memakan waktu 7 tahun dan baru selesai pada sidang ke-VIII Th
1956
PHI berhasil merumuskan empat lapangan hukum yaitu : (a) high seas, (b)
territorial seas, (c) fishing n conservation of living resources of the
seas,(d) continental shelf dan berhasil mmbuat rancangan pasal2 sbg bases of
discussion konperensi.
HI mengenai hukum laut terdiri atas 73 pasal, yang terbagi atas:
a. 25 pasal (1-25) tentang
laut teritorial
b. 23 pasal (26-48) tentang
laut lepas ditambah 1 pasal tentang jalur tambahan (pasal 66)
c. 17 pasal (49-65) tentang
perikanan dan perlindungan kekayaan hayati di laut
d. 8 pasal (67-73) tentang landas kontinen.
HASIL KONFERENSI
Menghasilkan empat buah konvensi mengenai hukum laut publik, sebuah
protokol fakultatif mengenai penyelesaian pertikaian dan sebuah resolusi.
1.
Konvensi tentang laut territorial dan jalur tambahan
2. Konvensi tentang laut lepas
3. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan kekayaan
hayati laut lepas
4.
Konvensi tentang landas kontinen
KONVENSI I TENTANG LAUT
TERITORIAL DAN JALUR TAMBAHAN
Konvensi ini mengatur asas, pengertian laut teritorial, dan mengenai
penarikan garis pangkal.
Ketentuan konvensi I mengenai garis pangkal lurus didasarkan atas Keputusan
MI tanggal 28 Desember 1951 dalam perkara Sengketa Perikanan antara Inggris dan
Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case).
Pasal 1 : laut teritorial merupakan suatu jalur yang terletak disepanjang
pantai suatu negara yang berada di bawah kedaulatan negara
Pasal 2 : kedaulatan negara atas laut teritorial meliputi juga ruang udara
di atasnya dan dasar laut serta tanah di bawahnya
Pasal 3 : memuat ketentuan garis pasang surut (low water mark) sebagai
garis pangkal biasa (normal base line)
Pasal 4 : mengatur garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight base
line) sebagai cara penarikan garis pangkal yang dapat dilakukan dalam keadaan2
tertentu.
Pasal 4 tentang straight base lines :
Ayat 1 menetapkan dalam hal-HAL mana yang dapat
dipergunakan penarikan garis pangkal lurus yakni:
1.
ditempat dimana pantai banyak liku-liku tajam atau laut masuk jauh ke
dalam, atau;
2.
Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai.
Ayat 2, 3 dan 5 memuat syarat2 yang harus diperhatikan di dalam menggunakan
penarikan garis pangkal lurus, yaitu:
1.
bahwa garis-garis lurus demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari
arah umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam
(sisi darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilyah daratan untuk
dapat diatur oleh resim perairan pedalaman (ayat 2).
2. bahwa gars-garis lurus tidak boleh ditarik diantara dua
pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air di waktu
pasang surut (low tide elevations), kecuali apabila di atasnya telah didirikan
mercu-mercu suar atau instalasi-instalasi serupa yang setiap waktu ada di atas
permukaan air (ayat 3).
3.
bahwa penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga
memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan laut lepas (ayat 5).
Ayat 4 dianggap sebagai tambahan pada ketentuan ayat 1, yaitu menetapkan
bahwa dalam menetapkan garis pangkal lurus dapat diperhatikan kebutuhan2
istimewa yang bersifat ekonomis dari suatu daerah yang dapat dibuktikan oleh
kebiasaan2 dan kebutuhan yang telah berlangsung lama.
Jadi ketentuan ayat 1 tersebut menunjukkan bahwa sistem garis pangkal lurus
adalah cara penarikan garis pangkal istimewa yang dapat (may) dipergunakan oleh
suatu negara. Sifat istimewanya dapat dilihat jika dihubungkan dengan pasal 3
yang menyatakan bahwa garis pasang surut sebagai garis pangkal biasa (normal
base lines), yang ini berarti bahwa suatu negara dapat menggunakannya di
sebagian pantainya yang memenuhi syarat2 ayat 1. Dengan kata lain, suatu negara
dapat menggunakan suatu kombinasi dari sistem “normal base lines” dan “
straight base lines”.
Artinya adanya sebagian saja dari pantai suatu negara yang memenuhi
syarat-syarat ayat 1, tidak bisa dijadikan alasan oleh suatu negara untuk
menggunakan sistem straight base lines tersebut secara umum untuk semua
pantainya.
Akan tetapi pembatasan penggunaan sistem garis pangkal lurus demikian
tidaklah mudah dilakukan berdasarkan pasal 4 KHLJ I ini, terutama apabila
diperhatikan kurang tegasnya syarat yang ditetapkan dalam ayat 2 tentang yang
harus dipenuhi dalam penarikan garis pangkal lurus ujung ke ujung. Perkataan
“….to any appreciable extent ” terlalu samar-samar untuk menjadikan syarat
dalam ayat 2 tersebut benar-benar efektif.
Dalam usaha untuk meniadakan efek dari ketidak tegasan ayat 2 tersebut dan
membatasi arti sistem garis pangkal lurus, negara-negara yang tidak menyetujui
perkembangan baru dalam hukum laut ini telah berusaha dalam konperensi untuk
mengadakan pembatasan panjangnya garis lurus yang dapat ditarik berdasarkan
pasal 4. Usaha ini berhasil dalam Komite I dimana Inggris mengusulkan pada
Komite I untuk panjang maksimum dari garis pangkal lurus ditetapkan 15 mil,
tetapi berdasarkan inisiatif Indonesia dan Kanada keputusan Komite I tersebut
dibatalkan dalam sidang pleno sehingga teks akhir pasal 4 dalam Konvensi I ini
tidak memuat suatu pembatasan apapun terhadap panjangnya garis pangkal lurus.
Pasal 5 mengatur akibat daripada penarikan garis pangkal lurus dari ujung
ke ujung.seperti adanya perairan pedalaman dan hak-hak lalu lintas damai di
perairan itu.
Ayat 1 nya: menentukan bahwa
perairan pada sisi darat dari garis pangkal laut territorial merupakan perairan
pedalaman.
Ayat 2 nya: menentukan bahwa
apabila karena penarikan garis pangkal lurus menurut pasal 4, bagian-bagian
laut yang tadinya merupakan laut lepas atau laut territorial menjadi perairan
pedalaman, maka kapal-kapal asing mempunyai hak lintas damai di perairan itu
sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 14-23.
Perairan pedalaman adalah perairan pada sisi darat dari garis pangkal laut
teritorial suatu negara. Ketentuan pasal 5 di atas telah menimbulkan suatu
konsep baru dalam hukum laut yakni suatu bagian perairan wilayah yang berbentuk
perairan pedalaman tetapi dengan rezim yuridis yang bersamaan dengan laut
territorial.
Pasal 6 mengenai batas luar laut teritorial.
Pasal 7 mengatur tentang teluk (bays), menetapkan 24 mil sebagai panjang
maksimum dari closing line of bays (ayat 4).
Ketentuan pasal 7 ayat 4 ini penting hubungannya dengan soal lebar laut
teritorial karena negara2 pengusul batas panjang bagi closing line ini sebagai
batas panjang yang 2 x lebar maksimum laut teritorial.
JALUR TAMBAHAN
Diatur dalam pasal 24 KHLJ 1958:
1.
In a zone of the high seas contiquous to its territorial sea, the coastal
state may exercise the control necessary to:
o
Prevent infringement of its custom, fiscal, immigration or sanitary
regulations within its territory or territorial sea;
o
Punish infringement of the above regulations committed within its territory
or territorial sea.
2.
The contiquous zone may not extend beyond twelve miles from the baseline
from which the breadth of the territorial sea is measured.
3.
Where the coasts of the states are opposite or adjacent to each other,
neither of the two states is entitled, failing agreement between the to the
contrary, to extend its contiquous zone beyond the median line every point of
which is equidistant from the nearest points on the baselines from which the
breadth of the territorial seas of the
two states is measured.
0 Komentar Untuk "KONFERENSI HUKUM LAUT JENEWA TH 1958"
Post a Comment