Dengan mengenalkan teori-teori ini, dimaksudkan agar pembaca mampu
memahami, tidak saja situasi hukum internasional secara statis atau normatif,
melainkan juga dapat menganalisis kedudukan hukum internasional ketika
mengalami inkonsistensi dengan realitas yang sebenarnya.
Seorang filosof Jerman,
Immanuel Kant, memberikan pengertian terhadap teori sebagai:
a collection of rules, even of
practical rules, is termed a theory if the rules concerned are envisaged as
principles of a fairly general nature, and if they are abstracted from numerous
conditions conditions which, nonetheless, necessarily influence their practical
application. Conversely, not all activities are called practice, but only those
realisations of a particular purpose which are considered to comply with
certain gener ally conceived principles of procedure.
Menurut pendapat lain Scobbie teori memiliki fungsi untuk memformulasikan
atau memberikan bimbingan bagi seseorang untuk berpikir terhadap hal-hal yang bersifat
praktis. Lebih penting dan itu adalah teori dapat memberikan cetak biru
berpikir (intelectual blue print)
yang sangat perlu dalam kaitannya dengan upaya untuk memahami dunia, atau
aspek-aspek penting dengan manusia dalam masyarakat. Oleh karena itu, Susan
Marks menulis: apa yang anda pegang tentang kebenaran mengenai dunia, amatlah
tergantung atas apa yang anda pikirkan, “what
you hold to be true about the world depends on what you take into account
depends on what you think matters”.
1. Teori Hukum Alam
Terdapat dua teori konvensional yang membahas kedudukan hukum internasional.
Pertama, adalah Teori Hukum Alam (natural
law theory) yang memiliki asumsi bahwa prinsip-prinsip hukum dapat
ditemukan dalam sifat alamiah dan state-persons. Sifat alamiah ini merupakan
turunan dan hak-hak alamiah dalam kaitannya dengan hubungan antara individu
dengan negara. Kedua, Teori Hukum Positif yaitu teori yang dikemukakan oleh
kelompok positifis (John Austin) yang berusaha untuk memberikan justifikasi
melalui persetujuan (consent) sebagal
dasar bagi terbentuknya hukum internasional. Kesepakatan tersebut pada gilirannya
dapat memaksa negara-negara mentaati hukum internasional itu sendiri. Dalam
pandangan kelompok ini hukum hanyalah sebagai sekelompok aturan-aturan, sebab
negara-negara telah memberikan persetujuannya untuk terikat oleh aturan-aturan
tersebut. Jadi dalam pandangan kelompok Positifis, persetujuan merupakan elemen
utama yang membuat hukum intennasional dapat ditegakkan.
Paham hukum alam merupakan mazhab yang bisa dikatakan sebagai yang paling
tua, tetapí telah mengalami modifikasi-modifikasi yang kompleks. Kebangkitan
paham hukum alam di masa modern tidak terlepas dan kekejaman yang dilakukan oleh
Jerman pada Perang Dunia II. Paham ¡ni sangat menekankan pada nilai-nilai
abstrak, seperti keadilan dan kedaulatan individu. Oleh karena itu, Gustay Radbruch,
sebagai pemuka utama nya, menyatakan bahwa hukum yang tidak adil (unjust) bukanlah hukum karena
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, hukum alam. Pengaruh paham ini
pada hukum internasional modern dapat ditemukan, antara lain, pada munculnya
hukum HAM internasional dan prinsip non agresi.
2. Teori Positivisme
Positivisme sebagai sebuah school
of thought bisa dikatakan dimulai dan Hans Kelsen dengan teori hukum murninya.
Kelsen menganggap hukum harus di perlakukan secara ekslusif. Sebagai akibatnya
hukum mendapatkan kekuatannya untuk berlaku berdasar pada ketentuan hukum yang
berada di atasnya. Keberadaan hukum yang berada di puncak hirarki di sebut
sebagai norma dasar. Dalam hukum internasional negara-negara diharuskan untuk mentaatinya
dikarenakan norma dasar-nya merupakan hukum kebiasaan. Salah satunya adalah
prinsip pacta sun servanda, dikemukakan oleh Anzilati yang kemudian melalui
pninsip tersebut muncul norma-norma yang terdini dan Konvensi dan putusan-putusan
pengadilan internasional.
Kelemahan mama yang dimiliki teori Kelsen adalah terdapatnya pengulangan pengulangan.
Dalam kritikannya Malcolm N. Shaw menyatakan sebagai berikut, daIam teori
Kelsen dinyatakan bahwa semua norma bermuara pada norma dasar sebagai ketentuan
hukum, maka dalam praktek pernyataan tersebuttidak memiliki relevansi yang
jelas. Shaw menambahkan, sebagaimana halnya dengan yang terjadi di lnggris
norma dasar yang dimaksud oleh Kelsen tersebut adalah supremasi parlemen.
Sebab, Inggris menganut sistem hukum common
law dan hukum dasar atau konstitusi dipahami dalam artian abstrak dan luas
tidak sebagaimana halnya di negara penganut hukum sipil. Supremasi hukum
terletak pada konstitusi.
Pemuka paham positivisme lain yakni H.L.A. Hart, profesor hukum di Oxford,
beranggapan bahwa hukum internasional hanyalah “a set” bukan sebuah sistem. Hart berargumen bahwa hukum
internasional dengan ketiadaan badan (legislatif, pengadilan dengan yurisdiksi
memaksa, dan organisasi yang tersentralisir hanyalah aturan-aturan hukum
tentang kewajiban (primary rules of
obligation). Karena itu, pertanyaan yang timbul kemudian adalah apakah
hukum internasional merupakan hukum?’.
Profesor Hart memahami hukum dalam kaitannya dengan interaksi antara primary dan secondary rules. Pertama, pada dasarnya hukum internasional merupakan
petunjuk standar bagi tindakan negara. Kedua, merupakan alat sebagai
pengidentifikasi dan pengembangan bagi yang pertama, dan mem berikan prosedur
konstitusional bagi perubahannya. Kondisi hukum pada komunitas primitif hanya
memiliki unsur yang pertama. Komunitas internasional adalah salah satunya.
Keadaan ini tidak terlepas dan absennya struktur mekanisme penegakan hukum yang
tersentralisir dan koersif atau memaksa sebagaimana halnya yang terdapat di
tingkat nasional. oleh karena itu, menurut Hart hukum internasional hanyalah
seperangkat aturan (a set of rule).
Teori yang diusung oleh kelompok Positifisme tidak terlepas dan postulat yang
mendasarinya. Postulat tersebut antara lain sebagaimana yang dipahami oleb John
Austin, seorang proponen utamanya, melihat hukum internasional dengan mendasarkan
pada teori hukumnya yang bersifat umum. Menurut teori Austin hukum pada umumnya
atau hukum stricto sensu merupakan the results of edicts issuing from a determinate sovereign legislative authority
Atau dengan kata lain, hukum haruslah disertai dengan paksaan. OIeh karena itu,
logislah apabila hukum yang desentralisir bukanlah ‘hukum’ dalam pengertian
Austin Ian.
Di samping itu, teori Austinian memiliki tiga kategori hukum. Di
antaranya adalah hukum Tuhan (divine law),
hukum positif, dan moralitas positif. Dan diperkuat oleh keadaan objektif yang
dimiliki oleh hukum internasional itu sendiri yang pada saat Austin hidup,
hukum internasional, kebanyakan, terdiri dan hukum kebiasaan. Maka, Austin berkesimpulan
apabila hukum internasional tidak Iebih hanya sebagai ‘positive international morality’
Untuk menjawab penolakan atas pertanyaan Austin, apakah hukum internasional
sebagal ‘hukum’? Shearer menjawab sebagal berikut. Pertama, pada saat ini untuk
dikatakan sebuah aturan sebagai sebuah ‘hukum’ tidak diperlukan hadirnya sebuah
otoritas legislatif yang bersifat formal. Kedua, mungkin saja pemahaman
Austinian ini tepat pada masa hidupnya Austin. Akan tetapi, pada saat ini
dengan banyaknya pembentukan traktat-traktat yang masuk kategori ‘law-making treaties’ sangatlah berbeda.
Kebiasaan internasional telah tergantikan perannya oleh hadirnya
Konvensi-Konvensi Internasional. Postulat terakhir, adalah pada masa ini hampir
tiap persoalan internasional diperlakukan sebagai sebuah isu hukum, sehingga
tanpak jelas bahwa kode moral tidak hadir dalam sebuah isu internasional.
Meskipun begitu, tidak berarti sama sekali tidak ada yang namanya kode moral
dalam melakukan hubungan internasional. Sebab, di samping hukum internasional,
juga dikenal apa yang disebut sebagai ‘international
comity’, atau yang terakhir ini menjadikan good will sebagai sandarannya
yang terdapat pada hak moral dan tiap negara.
Ciri fundamental positifisme Iainnya adalah penekanan pada pentingnya persetujuan
dan negaranegara demi terciptanya sebuah hukum internasional. Kelemahan utama
dan proposisi ini adalah penekanannya yang berlebih-lebihan terhadap prinsip pacta sun servanda. Sebagal contoh
kelemahan yang timbul adalah menjadikan teori ini tidak bisa menjelaskan
keterikatan yang didapat oleh negara-negara baru hasil dekolonisasi. Perlu juga
dipahami bahwa pada saat ini beberapa negara telah secara eksplisit
menyebutkan, baik dalam konstitusi nya, ataupun melalui tindakan-tindakan yang
tidak secara eksplisit, mengakui eksistensi hukum internasional. Bahkan, negara
seperti Belanda menempatkan hukum internasional sebagai posisi yang terhormat
dengan menempatkan hukum Internasional menjadi sumber hukum nasionalnya.
3. Teori New Haven
Pada masa ini terdapat dua pertarungan gagasan. Di satu pihak mazhab New Haven
atau the New Haven School yang dengan proponen utamanya Myres S. McDougal dan
Harold J. Laswell dan Yale Law School yang terletak di New Haven, Connecticut
yang bisa dikatakan sebagai teori yang mewakili negara-negara demokrasi liberal
Barat. Di pihak lain, teori komunis atau Soviet dengan profesor G.I. Tunkin.
Pertentangan antara kedua school of thought
ini tidak terlepas dan efek samping dan perang ideologi yang dihasilkan oleh
Perang Dingin yang ditandal dengan polarisasi antara Timur dan Barat. Perbedaan
fundamental dan kedua model di atas dapat dijelaskan dan cara pandang atas
hukum itu sendiri yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Kelompok the New Haven melihat hukum dalam fungsi fasilitatif, sedangkan kelompok
Soviet lebih memilih kepada konstitutif. Yang dimaksud dengan hukum sebagai
fasilitatif oleh Posner, yaitu suatu pelayanan yang didasarkan pada
komunitaskomunitas dalam upaya memperoleh keberhasilan dan komunitas tersebut,
kebebasan memilih dan menentukan dininya harus lebih utama dan pada fungsi
norma yang sekedar dibebankan begitu saja (a
service to lay communities in the achievement of those communities self-chosen ends
rather than as a norm 1mposed on those communities in the service of a higher
end).
Madzhab New Haven memandang hukum tidak lebih sebagai proses pembentukan
keputusan, yang merupakan safah satu elemen yang memberi kontribusi terhadap
penyelesaian persoalan internasional. Sumbangan pemikiran McDougal adalah
anggapan akan terdapatnya sebuah pola yang menunjukan akan terdapatnya sebuah
nilai-nilai bersama umat manusia sebagaimana yang ditunjukan oleh
tindakan-tindakan dan pernyataan-pernyataan negara-negara. Nilai-nilai tersebut
oleh McDougal di nyatakan sebagai ‘human
dignity’. Dalarn kaitannya dengan itu, McDougal berpendapat bahwa terdapat
sebuah aspirasi universal yang menunjukan akan keinginan untuk dibentuknya
hukum yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Di samping itu, Myres S. McDougal melihat hukum berfungsi edukatif, yaitu
(to contribute to the training of
policy-makers for the ever-more com plete achievement of the democratic values
that constitute the professed ends of American polity). Kelompok ini
merupakan kelanjutan dari the American Legal
Realism School of jurisprudence, yang menolak pandangan formalis yang memandang
hukum sebagai bebas nilai dan bersandar semata-mata pada perangkat logika dan
prinsip-prinsip hukum untuk menjelaskan berlakunya peradilan dan sistem hukum itu
sendiri. Dalam kata lain kelompok ini menegaskan bahwa:
The conception of
law as a system of rules in favour of one where law is a normative social
system which revolves around trends of authorita tive decisions taken by
authorized decision-makers including, but not restricted to judges. There is
more to law than what happens in court rooms.
Lebih jauh, kelompok ini menginginkan akan adanya tata tertib universal tentang
martabat manusia, ‘universal world order
of human dignity’, yang pada gilirannya akan memberikan jaminan pada
penikmatan oleh individu. Pendekatan berdasar pada kebijakan (policy based approach) McDougal mendapatkan
beberapa tantangan. Pertama, teori ini merendahkan peran hukum dalam sebuah
proses dan merendahkan pentingnya tingkat kepastian. Kedua, teori ini di panda
ng tidak mendapatkan tempatnya di negananya sendiri, Amerika Serikat. Ketiga,
para penulis kelompok ini dikritik karena teori ini terlalu samar-samar dan
subjektif.
Masih terdapat téori lain yang patut diberikan perhatian. Profesor Thomas
M. Franck dalam teorinya menyatakan apabila hukum internasional sebagai hukum
yang telah memiliki legitimasi kuat, maka kecenderungan untuk dipatuhi lebih
baik dibanding dengan hukum yang tidak memperoleh pengakuan. Senada dengan itu,
Profesor Louis Henkin menegaskan bahwa negara-negara mematuhi peraturan
internasional memiliki kepentingan, sebab dengan tidak menaatinya akan
berakibat Iebih merugikan bagi kepentingan dirinya atau negaranya. Kecenderungan
dalam pemikiran hukum internasional kontemporer sangat menekankan proses human
isasi dan hukum internasional telah menjadi feature tersendiri yang menarik.
Kecenderungan yang menggembirakan bagi para boosters niÍainiIai kemanusiaan
sangat menarik untuk dinantikan akankah terciptanya suatu dunia yang satu dan
kita berada dalam satu kewarganegaraan Dunia dan satu kebangsaan manusia.
Keadaan ini patut kita nantikan untuk terciptanya Dunia yang humanis.
4. Teori Marxis - Leninisme
Sedangkan di pihak lain teori Soviet, yang berakar pada ajaran Marxisme Leninisme,
yang mencapai puncaknya pada pemikiran G.I. Tunkin, berkeyakinan untuk
menjelaskan hukum internasional bukannya bersandar pada nilai-nilai
kemanusiaan, akan tetapi Iebih pada hukum objektif mengenal perkembangan sosial
dan ekonomi. Sebagai puncak pencapalan adalah terciptanya komunisme, yakni
mereka menyadarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional progresif yang
mengacu pada hukum suatu masyarakat berkembang. Sehingga, ‘they adduce and depend progressive international legal principles which
cores pond to the law of societal development and which are aimed at ensuring
peace and friendly cooperation between states and the free development of
peoples’.
Teori Soviet Iebih merupakan penerapan doktrin Marxisme-Leninisme tanpa
adanya suatu modifikasi yang berarti. Mìsalnya, konsepsi teoritis tentang hukum
¡nternasional yang mendasarkan pemahamannya pada konflik antar kelas yang
didasarkan pada sistem produksi. Madzhab ini diperkuat EB Pashukanis
(1893-1937) yang semata-mata melihat hukum internasional sebagai sebuah sistem
yang didasarkan pada pertentangan antar kias dengan mengharuskàn adanya
kompromi, yang kemudian kekuatan sosialisme internasional menjadi pemenangnya.
Akan tetapi, teori komunis mengenai hukum internasional telah mengalami berbagai
macam revisi. Misalnya, hukum internasional
versi komunis sangat menekankan pada prinsip kedaulatan dan otonomi negara.
Oleh karena itu teori ini mendapat sambutan hangat dan negara-negara Dunia
Ketiga.
Tujuan dari kedua kelompok ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan Di
satu pihak kelompok the New Haven mengingin kan tercapainya kehormatan dan
martabat manusia (human dignity)
dengan menempatkan fungsi hukum sebagai fasilitator pembuatan keputusan negara
dan masyarakat. Sedangkan kelompok Soviet berkei nginan tercapainya
proletarianisme internasional dengan menjadikan hukum sebagai instrumen
kekuasaan negara. Dan kedua madzhab tersebut, mazhab New Haven Iebih memiliki
pengaruh yang relevan bagi perkembangan hukum internasional kontemporer. Sebab,
persoalan-persoa Ian humanitarian sepenti HAM merupakan persoalan yang dapat
menjadi persoalan hukum internasional dalam pandangan New Haven.
5. Teori Restrukturisasi
Pada masa pasca Perang-Dingin, school
of thought yang eksis dalam hukum internasional bukanlah merupakan lanjutan
dan masa Perang-Dingin. Bukti ini dapat dibaca pada sebuah manifesto, yang
menyatakan bahwa ‘mahasiswa hukum internasional harus merumuskan pemikiran
mengenai sebab dan akibat urusan internasional dan menolak visi yang
bersandarkan pada kepentingan negara-negara yang acapkali suka memaksakan
doktrin dan hukum yang dipergunakan oleb negarawan-negarawan’.
Pakar teori hukum internasional dan lnggris, Philip Allot menginginkan adanya
restrukturasi hukum internasional dengan menempatkan individu sebagal pusat
perhatian hukum internasional. Keadaan tersebut dapat dicapai melalui kekuatan
berpikir manusia yang dalam kalimatnya ditulis sebagai benikut, ‘we make human world, including human
institutions, through the power of the human mind. What we have made by
thinking we can make new by new thinking’. Sebagai konsekuensinya, konsep
kedaulatan oleh Allot dinyatakan ‘tidak lebih sebagai inkoherensi teoritis dan
kekurangan dalam dimensi praktìs hukum internasional’.
Pemahaman Allot ini bisa jadi merupakan lokomotif bagi perubahan atas hukum
internasional setelah dimulai secara jenial oleh Sir Hersch Lauterpacht.
Kritikan Allot yang sangat jernih terhadap hukum internasional adalah:
governments and
the human beings who compose them, are able to will and act internationally in
ways that they would be morally restrained from willing and acting internally,
murdering human beings by the mi! lion in wars, tolerating oppression and
starvation and disease and poverty, human cruelty and suffering, human misery
and human indignity’.
Kritikan dari Allot ini ditujukan pada sifat hukum internasional yang mengekslusikan
individu dan sistem. Sehingga tidak heran apabila hukum internasional,
sebagaimana terlihat saat ini, merupakan hukum yang melayani kepentingan pihak
yang berkuasa di tingkat nasional di negara-negara nona demokratis. Dengan
tuntutan akan terciptanya humanisasi hukum internasional melalui
restruksturìsasi diharapkan hukum internasional akan menjadi lebih responsifterhadap
persoalanepersoalan kemanusiaan yang merupakan persoalan sebenarnya bagi
komunitas internasional.
5. Teori Feminisme
Disisi lain munculnya pemikiran hukum internasional yang mengusung nama Feminisme
yang sebagai counter atas dominasi nilai-nilai maskulin yang selama ini
mendominasi. Teoni ini merupakan sebuah upaya dan kelompok feminist untuk
melakukan sebuah terobosan atas sistem yang selama ini telah terdistorsi oleh
diskniminasi jender. Namun, kelompok ini tidak benupaya untuk mengganti satu kebenaran
dengan ‘kebenaran’ lainnya. Dalam pandangan Hilary Charlesworth, teori ini
lebih difokuskan pada upaya menyelidiki apa yang menyebabkan berlangsungnya
peran dominan atas satu kelompok lelaki terhadap kelompok lainnya yaitu
perempuan. Pada gilirannya, kelompok feminis ini akan berupaya supaya kejadian tersebut
tidak terulang lagi.
0 Komentar Untuk "TEORI-TEORI DALAM HUKUM INTERNASIONAL"
Post a Comment