13/01/2015. Didunia ini kebutuhan manusia akan tanah terus
bertambah, karena tanah semakin lama semakin berkurang karena tidak seimbang
dengan jumlah penduduk, hingga yang
terjadi di masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat biasanya membuat aturan
tentang kepemilikan tanah di desa tersebut, hingga suatu saat terjadi perubahan
akibat masuknya ide pembaharuan yang sudah melalui tahapan dan proses sehingga
cepat ataupun lambat masyarakat akan mengalami perubahahan pola pikiran yang
dari waktu ke waktu terus berkembang.
Kelompok sosial di dalam masyarakat banyak mengalami pemegahan baik
itu kelompok primer, sekunder, patembayan, paguyuban, ingroup, outgroup maupun
kelompok-kelompok lain, pemegahan ini biasa disebabkan oleh kurangnya
komunikasi, hilangnya nilai guna (ulitarian) tempat ia menempatkan diri, dan
pengaruh-pengaruh dari luar individu itu sendiri.Pemegahan ini biasa terlihat
dari perubahan simbol, aturan keanggotaan, cara berpikir, dan berbagai macam
pemegahan dan perubahan yang menimbulkan konflik.
Perubahan kepemilikan tanah didesa kungkai sangat
berpengaruh dari sebuah kelompok, sebab kelompok sosial merupakan kelompok-kelompok
yang dibuat oleh individu-individu yang memiliki rasa kedekatan dan kebersamaan
sehingga apabila terjadi perubahan kepemilikan tanah dalam masyarakat maka
merekapun akan memilih perubahan tersebut. Perubahan ini terkadang biasa di
sebabkan oleh keinginan suatu kelompok.
PENGERTIAN
HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA
Pada pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa
“bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu
pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara”. Negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat. Hak menguasai dari
Negara termaksud dalam
UUPA (pasal 1 ayat 2) memberi
wewenang kepada Negara untuk :
- Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang
dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang
baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum (UUPA, pasal 4
ayat 1). pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada
diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah
itu dalam batas-batas
menurut undang-undang ini
dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Dari penjelasan di atas dapat difahamkan bahwa jika
seseorang/ badan hukum baik yang dikuasai secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama mempunyai hak atas tanah, maka Ia hanya berhak atas permukaan
buminya saja, itupun dengan memperhatikan tata ruang dan kelestarian lingkungan
hidup yang mendasarkan kepada prinsif-prinsif pembangunan yang berkelanjutan
(Suistinable Devlopment), yang ketentuanya diatur di dalam Peraturan
Perundang-undangan tersendiri.
Jikapun seseorang memiliki hak atas tanah yang
merupakan Hak Milik, yang hak atas tanah tersebut merupakan hak yang paling
sempurna dan terpenuh sifat dan kewenangannya di banding dengan hak-hak lain
yang ada dan berlaku sesuai dengan ketentuaan Perundangan Agraria di Indonesia,
tetap saja apabila ditemukan benda peninggalan bersejarah ataupun barang-barang
tambang, dan benda-benda berharga lainnya walupun itu di dalam Tubuh bumi
berada tepat di bawah Hak Milik atas
tanah tersebut, akan tetap menjadi Milik Negara (dikuasai menjadi kekayaan
Negara). Prosedur pengambilan maupun ganti rugi kepada pemilik lahan/ lokasi
dari barang-barang ataupun benda-benda dimaksud, diatur di dalam Undang-undang
tersendiri (Lihat Pasal 8 UUPA).
HAK
MILIK ATAS TANAH MENURUT PARA AHLI
Di bawah ini adalah definisi/ pengertian tentang Hak
Milik atas Tanah menurut pendapat beberapa sarjana Indonesia, adalah sebagai
berikut :
a) Menurut Tampil Anshari Siregar, (Dosen Hukum
Agraria FH USU, Medan, 2006)
Hak Milik Atas Tanah menurut sistem UUPA tidak sama
dengan Hak Eigendom yang berdasarkan KUH Perdata/ BW (Burgelijk Wet Book) atau
sekalipun hampir sama juga tidak persis, dengan Hak Milik menurut Hukum Adat
(Tanah Grand Sultan/ Partikelir/ Petuk, dan lain-lain).
Menurutnya, Hak Milik berdasarkan UUPA tidak
diperkenalkan sebagai Hak Kebendaan yang pemegang haknya diberi keleluasaan
mengambil nikmat/ manfaat dengan lebih mengutamakan kepentingan individu
pemiliknya dari pada kepentingan sosial masyarakat. Kemudian untuk Hak Milik
yang berdasarkan UUPA itu, tidaklah melekat di atasnya Hak Ulayat dengan mengutamakan
kepentingan golongan masyarakat tertentu, melainkan Hak Menguasai Negaralah
yang berada di atas semua jenis hak atas tanah, yang sampai saat ini ketentuan
Perundang-undangan tentang Hak Milik belum diatur secara rinci dan tegas (lihat
Pasal 50 UUPA).18
b) Menurut Sudikno Mertokusumo (Guru Besar Hukum
Agraria, 1986)
Hak Milik atas tanah adalah hak untuk memperlakukan
suatu benda (tanah) sebagai kepunyaan sendiri dengan beberapa pembatasan.
Meliputi hak untuk memperoleh hasil sepenuhnya dari tanah yang dimiliki dan hak
untuk mempergunakan tanah, yang dalam batasan arti boleh menjual, menggadaikan,
menghibahkan tanah tersebut kepada orang lain.
c) Menurut Florianus SP Sangsun (Praktisi Hukum,
2008) .
Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dapat beralih dan dialihakan kepada pihak
lain. Pihak yang boleh mendapatkan/ mempunyai Hak Milik atas tanah adalah WNI
(Warga Negara Indonesia) dan BHI (Badan Hukum Indonesia). Selain itu dapat juga
diberikan Hak Milik atas tanah karena penetapan oleh Pemerintah.
d) Menurut Iman Sutiknyo (Perumus UUPA)
Bahwa
UUPA mendasarkan diri pada sifat dan hakekat/ kodrat manusia sebagai individu
dan mahluk sosial seperti yang dimaksudkan oleh Sila kedua Pancasila. Karena
UUPA juga mengatur selain hak-hak kolektif, yaitu Hak Menguasi Negara yang
merupakan hak tertinggi dan meliputi seluruh bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikenal juga hak-hak perorangan
(privat) atas tanah, seperti yang diatur di dalam Pasal 16 UUPA, (Yaitu, Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan lain lain).
HAK
PENGUASAAN ATAS TANAH
Berdasarkan kewenangannya, hak penguasaan tanah
menurut UUPA dibagi menjadi :
1. Hak Penguasaan atas tanah yang
mempunyai kewenangan khusus
yaitu kewenangan yang bersifat
publik dan perdata.
Hak Bangsa Indonesia (pasal 1 UUPA)
Ini menunjukkan suatu hubungan yang
bersifat abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah di seluruh wilayah
Indonesia dengan subyeknya bangsa Indonesia.
Hak Bangsa Indonesia merupakan hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi di Indonesia.
Hak Menguasai Negara (pasal 2 UUPA)
Negara sebagai organisasi kekuasaan
tertinggi seluruh rakyat melaksanakan tugas untuk memimpin dan mengatur
kewenangan bangsa Indonesia (kewenangan publik).
Melalui hak menguasai negara,
negara akan dapat senantiasa mengendalikan atau mengarahkan fungsi bumi, air,
ruang angkasa sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Negara dalam hal ini
tidak menjadi pemegang hak, melainkan sebagai badan penguasa, yang mempunyai
hak-hak sebagai berikut :
Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukkan, penggunaan dan pemeliharaan;
Menentukan dan mengatur hak-hak
yang dapat dipunyai oleh subyek hukum tanah;
Mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai tanah.
Hak Ulayat Pada Masyarakat Hukum
Adat (pasal 3 UUPA)
Hubungan hukum yang terdapat antara
masyarakat hukum adat dengan tanah lingkungannya. Hak Ulayat oleh pasal 3 UUPA
diakui dengan ketentuan :
Sepanjang menurut kenyataannya
masih ada;
Pelaksanaannya tidak bertentangan
dengan pembangunan nasional.
Pada tanggal 24 Juni 1999
pemerintah mengeluarkan kebijakan
mengenai hak ulayat yaitu dengan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun
1999, tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Bahkan perkembangan terhadap
pengakuan dan penghormatan terhadap Hak Ulayat masyarakat hukum adat tersebut
dikukuhkan di dalam perubahan ke dua UUD 1945 oleh MPR-RI, para tanggal 18
Agustus 2000 di dalam Pasal 18B ayat
(2) disebutkan bahwa “Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”.
Hal itu tentunya akan memiliki implikasi yuridis dimasa mendatang terhadap pengaturan mengenai tindakan, perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah Hak Ulayat agar tidak
berlanjut dampak-dampak negatif
selama ini seperti dalam berbagai kasus
pelanggaran terhadap tanah Hak Ulayat di berbagai tempat.
2. Hak
Penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan
yang bersifat umum yaitu
kewenangan di bidang perdata dalam penguasaan dan penggunaan tanah sesuai
dengan jenis-jenis hak atas tanah yang diberikan (Hak Perorangan atas Tanah).
Hak Perorangan atas Tanah terdiri dari :
Hak atas tanah:
Yaitu hak penguasaan atas tanah
yang memberi wewenang bagi subyeknya untuk menggunakan tanah yang dikuasainya.
Hak atas tanah terdiri atas :
Hak atas tanah Orisinal atau Primer
yaitu hak atas tanah yang bersumber
pada Hak Bangsa Indonesia dan yang diberikan oleh Negara dengan cara
memperolehnya melalui permohonan hak.
Hak atas tanah yang termasuk hak primer
adalah:
- Hak Milik
- Hak Guna Bangunan
- Hak Guna Usaha
- Hak Pakai
- Hak Pengelolaan.
- Hak atas tanah Derivatif atau Sekunder
yaitu hak atas tanah yang tidak langsung bersumber
kepada Hak Bangsa Indonesia dan diberikan pemilik tanah dengan cara
memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak antara pemilik tanah dengan
calon pemegang hak yang bersangkutan.
Hak atas tanah yang termasuk dalam hal ini, yaitu:
- Hak Guna Bangunan
- Hak Pakai
- Hak Sewa
- Hak Usaha Bagi Hasil
- Hak Gadai
- Hak Menumpang.
b. Hak Jaminan atas Tanah
Yaitu hak penguasaan atas tanah yang tidak
memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang dikuasainya
tetapi memberikan wewenang untuk menjual lelang tanah tersebut apabila pemilik
tanah tersebut (debitur) melakukan wanprestasi.
Hak-hak jaminan atas tanah menurut hukum tanah
nasional adalah Hak Tanggungan yang diatur dengan UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
KONFLIK
TANAH ADAT DI DESA KUNGKAI
Pengertian Tanah Adat/ Tanah Ulayat
Tanah ulayat adalah bidang tanah
yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Hak ulayat adalah kewenangan, yang
menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu
yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan
masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang
dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan.
Hak Tanah Ulayat di Desa Kungkai
Di Desa Kungkai, Kecamatan Bangko,
Kabupaten Merangin terdapat masalah yang sangat kompleks mengenai tanah, karena
terjadi klaim kembali dari kelompok ahli waris atas kepemilikan tanah yang
selama ini digunakan sebagai lapangan sepakbola oleh masyarakat kungkai, ini
mengakibatkan kegiatan olahraga sepakbola di desa tersebut runtuh begitu saja,
ini jelas sebuah perubahan kontekstual yang sangat tidak diinginkan.
Ahli waris yang mengklaim
kepemilikan tanah ini tak bisa menunjukkan sertifikat kepemilikannya namun mampu menunjukkan bukti peminjaman atas setiap kegiatan sepakbola, tapi inilah masalah yang sesungguhnya, masyrakat desa kungkai
adalah satu keluarga besar, hingga mengakibatkan tak ada yang berani mengangkat
kasus ini ke pengadilan, kasus ini seakan berjalan ditempat, hingga membuat
tanah tersebut terlantar begitu saja selama 6 tahun belakangan ini, tak ada
aktivitas, di lokasi yang sangat strategis ini.
Dampak Negatif Sengketa tanah
Ulayat di Desa Kungkai
Sengketa tanah adat yang terjadi di
Desa Kungkai mengakibatkan hal hal negative muncul seperti
Perekonomian di Sekitar tanah
Sengketa lumpuh
Selama terjadi sengketa tanah
tersebut, tak ada lagi acara acara besar, kejuaraan kejuaraan besar yang diadakan hingga mengakibatkan perekonomian
masyarakat disekitar lapangan lumpuh
Olahraga Mati Suri
Sengketa ini menimbulkan masalah
besar dalam dunia keolahragaan di desa kungkai, olahraga seakan harus tertidur,
entah kapan dapat dibangunkan kembali, dan tentunya dimulai dari nol.
Pemuda Menjadi Malas
Malas adalah salah satu penyakit
dari tak adanya aktivitas, itulah yang terjadi di desa kungkai saat ini.
Menimbulkan Generasi Pemabuk
Inilah masalah yang sangat
ditakutkan, semenjak timbul sengketa itu, pemuda seakan alih profesi menjadi
pemabuk, pejudi, masalah yang sampai saat ini semakin berkembang, dan ini mulai
menjangkit ke genarasi anak anak di bawah umur, menyedihkan sekali.
Solusi Penyelesaian
Dalam penyelesaian masalah tanah
adat di desa kungkai perlu adanya sebuah Perubahan revolusi yang merupakan
perubahan berlangsung secara cepat dan tidak ada kehendak atau perencanaan
sebelumnya. Secara sosiologis perubahan revolusi diartikan sebagai
perubahan-perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupanatau lembaga- lembaga
kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Dalam revolusi, perubahan dapat
terjadi dengan direncanakan atau tidak direncanakan,dimana sering kali diawali
dengan ketegangan atau konflik dalam tubuh masyarakat yang bersangkutan.
Revolusi tidak dapat terjadi
disetiap situasi dan kondisi masyarakat. Secara sosiologi, suatu revolusi dapat
terjadi harus memenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain adalah:
Ada beberapa keinginan umum
mengadakan suatu perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas
terhadap keadaan, dan harus ada suatu keinginan untuk mencapai perbaikan dengan
perubahan keadaan tersebut.
Adanya seorang pemimpin atau
sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut.
Pemimpin tersebut dapat menampung
keinginan-keinginan tersebut, untuk kemudian merumuskan serta menegaskan rasa
tidak puas dari masyarakat, untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya
masyarakat.
Pemimpin tersebut harus dapat
menunjukkan suatu tujuan pada masyarakat. Artinya adalah bahwa tujuan tersebut
bersifat konkret dan dapat dilihat oleh masyarakat. Selain itu, diperlukan juga
suatu tujuan yang abstrak. Misalnya perumusan sesuatu ideologi tersebut.
Harus ada momentum untuk revolusi,
yaitu suatu saat di mana segala keadaan dan faktor adalah baik sekali untuk
memulai dengan gerakan revolusi.Apabila momentum (pemilihan waktu yang tepat)
yang dipilih keliru, maka revolusi dapat gagal.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya masalah tanah dari kasus diatas adalah masalah yang kompleks
dan perlu ditindaklanjuti, namun harus berawal dari masyarakat itu sendiri
untuk mengawali pemecahan masalah yang menyebabkan tanah sengketa tersebut
menjadi tanah terlantar, tanah itu sendiri dahulunya digunakan sebagai lapangan sepakbola, kemudian desa tidak mampu menunjukkan bukti hibahnya untuk memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan
hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara
lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum
adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
REFERENSI
Sudikno Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria Indonesia, Liberty Yogyakarta 1988, Hal.
12 20 Florianus SP Sangsun, Praktisi Hukum Berbagi Ilmu Tata Cara Mengurus
Serttfikat Tanah, Visi Media, Jakarta Juni 2008.
Florianus SP Sangsun, Praktisi
Hukum Berbagi Ilmu Tata Cara Mengurus Serttfikat Tanah, Visi Media, Jakarta
Juni 2008.
0 Komentar Untuk "KONFLIK KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH (DARI TANAH ADAT MENJADI TANAH HAK MILIK)"
Post a Comment