Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, kalimat ini sudah jelas dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pancasila sebagai sumber hukum dasar nasional berarti semua peraturan perundang-undangan harus bersumber pada Pancasila karena Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang telah disepakati dan dirumuskan secara konstitusional dalam Pembukaan UUD 1945.
Pancasila lahir dalam bentuk pembauran (asimilasi) yang tergambar jelas dalam 5 (lima) sila Pancasila itu sendiri. Artinya Pancasila adalah pedoman berkehidupan bernegara dan berbangsa Negara Indonesia baik itu sebagai landasan peraturan maupun sebagai pedoman hidup.[1]
Menurut A. Hamid S. Atamimi, Dalam pembentukan peraturan Perundang-undangan yang patut salah satunya harus berasaskan Cita Hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (sila-sila) yang berlaku sebagai cita (idee), yang berlaku sebagai bintang pemandu.[2]
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik. Hans Nawiasky dalam bukunya Allgemeine Rechtslehre, mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen, suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang yakni norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Dari teori tersebut, Hans Nawiasky menambahkan bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum juga berkelompok-kelompok.[3]
Menurut teori Hans Nawiasky, Pancasila merupakan Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) yang merupakan norma hukum yang tertinggi, dan kemudian secara berturut-turut diikuti Undang-Undang Dasar 1945, TAP MPR, Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.[4] Menurut H.L.A Hart Penerimaan atau berjalannya sebuah peraturan pada masa tertentu tidak menjamin kelanjutan eksistensi dari aturan itu, bisa jadi terjadi perubahan karena terjadinya suatu Revolusi dalam suatu masyarakat ataupun Negara.[5] Artinya Norma Hukum harus mencerminkan kondisi masyarakat suatu negara, tujuannya agar setiap kehidupan yang berjalan di dalam masyarakat dapat mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Untuk mengatasi hal seperti itu Ius Constituendum (Hukum yang diharapkan) harus menafsirkan Hukum Positif dengan melihat dinamika yang berkembang dalam masyarakat, selain itu (Historische Recht) (Sejarah Hukum) dalam setiap pembentukan perlu dikaji lebih jauh agar tak ada kesalahan-kesalahan dari peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan yang disebabkan oleh hirarki peraturan itu sendiri. Dengan jalan ini, hukum dapat memberikan landasan bagi perubahan perilaku yang diperlukan bagi pembangunan masyarakat yang benar-benar berkesinambungan atau hukum sebagai sarana pembaharuan, dan hukum dibentuk untuk mempertahankan bentuk masyarakat sebagai modus survival.[6] Dan seperti halnya pendapat Jeremy Bentham bahwa hukum dibentuk untuk menciptakan kebahagiaan terbesar bagi banyak orang.[7] Sependapat dengan hal tersebut Von Savigny mengajarkan bahwa hukum mengikuti jiwa/semangat rakyat (volkgeist) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka hukum masing-masing masyarakat juga berlainan.[8]
Sejak lahirnya negara Republik Indonesia dengan Proklamasi kemerdekaannya, sampai berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Undang-Undang Dasar 1945, dan perubahan Undang-Undang Dasar tidak pernah diatur secara tegas.
Pancasila merupakan kesadaran cita-cita hukum serta cita-cita moral luhur yang memiliki suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia, melandasi prolamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Untuk mewujudkan tujuan proklamasi kemerdekaan maka panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah menetapkan UUD 1945 merupak hukum dasar yang tertulis yang mengikat pemerintah. Dalam Pembagian pembukaannya terdapat pokok-pokok pikiran tentang kehidupan bermasyarakat, bernegara yang tiada lain adalah pancasila pokok-pokok pikitran tersebut yang diwujudkan dalam pasal-pasal batang tubuh UUD 1945 yang merupakan aturan aturan pokok dalam garis-garis besar sebagai intruksi kepada pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk melaksanakan tugasnya.
Menurut penjelasan UUD 1945 pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari undang-undang negara Indonesia, dan mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum negara baik hukum yang tertulis maupun tidak tertulis. Pokok-pokok pikiran itu dijelmakan dalam pasal-pasal dan UUD itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suasana kebatianan UUD1945 dan cita-cita hukum UUD 1945 tidak lain adalah bersumber kepada atau dijiwai dasar falsafah negara pancasila. Disinilah arti dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara.
Atau dengan kata lain bahwa pembukaan UUD 1945 yang membuat dasar falsafah negara pancasila, merupakan satu kesatuan nilai dan norma yang terpadu yang tidak dapat dipisahkan dengan rangkaian pasal-pasal dan batang tubuh UUD 1945. Selain itu nilai-nilai pancasila termuat dalam pasal-pasal UUD 1945, artinya Pancasila adalah norma hukum yang mengikat dan termuat secara jelas dalam konstitusi.
OLEH : FEBRIAN CHANDRA
10/12/2018
[1] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Buku: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta, Kanisius, 2007. Hlm 264
[2] Ibid. Hlm 255
[3] Ibid, Hlm 44
[4] Ibid, Hlm 57-58
[5] H.L.A Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law), Bandung, Nusamedia, 2016, Hlm 93
[6] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008. Hlm 78
[7] Ibid, Hlm 117
[8] Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Dasar‐Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hal 65
0 Komentar Untuk "CITA HUKUM (RECHT IDEE) PANCASILA"
Post a Comment