1. Program
Keluarga Berencana
Pengertian Keluarga Berencana menurut
UU No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera adalah upaya peningkatan kepedulian peran serta masyarakat melalui
pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan
keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera
Indonesia
mengajak dunia Internasional untuk memperhatikan kembali program Keluarga
Berencana (KB) sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan jumlah penduduk.
Dalam intervensinya atas laporan Sekjen PBB mengenai monitoring populasi dunia
dengan fokus kontribusi dan program aksi International Conference Population
and Development (ICPD), Indonesia menyebutkan penduduk merupakan masalah
penting yang harus ditangani bersama. Termasuk untuk mencapai tujuan
pembangunan global dan pembangunan lainnya yang saling berkaitan (BKKBN, 2005).
Melalui
Keppres No. 33 Tahun 1972 dilakukan penyempurnaan struktur organisasi, tugas
pokok, dan tata kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Dengan Keppres No. 38 Tahun 1978 organisasi dan struktur Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) disempurnakan kembali, dimana fungsinya
diperluas tidak hanya masalah KB tetapi juga kegiatan-kegiatan lain, yaitu
kependudukan yang mendukung KB. Selanjutnya dilakukan lagi penyempurnaan
organisasi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan Keppres
No. 64 Tahun 1983 dengan tugas pokok adalah menyiapkan kebijaksanaan umum dan
mengkoordinasikan penyelenggaraan program secara menyeluruh dan terpadu
(Sujiyatini, 2009). Dari data sensus tahun 2000 didapat Penduduk Indonesia
berjumlah 203,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% dan
jumlahnya akan terus bertambah sesuai dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP).
Laju Pertambahan Penduduk 1,49 % per tahun artinya setiap tahun jumlah penduduk
Indonesia bertambah 33,5 juta jiwa. Bila tanpa pengendalian yang berarti atau
tetap dengan pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun, maka jumlah tersebut pada
tahun 2010 akan terus bertambah menjadi 249 juta jiwa atau menjadi 293,7 juta
jiwa pada tahun 2015 (Depkes RI, 2003).
Beberapa
indikator penting dalam RPK (Rencana Pertambahan Penduduk) 2008, sehingga
target pencapaian program BKKBN berhasil melampaui dari target yang ada karena
partisipasi semua pihak termasuk pemerintah daerah, TNI, Polri dan berbagai
mitra yang telah giat melakukan gerakan
untuk menyukseskan kegiatan KB tersebut. Pencapaian peserta KB baru tahun 2009
sebesar 7,67 juta pasangan usia subur (PUS) atau 117 persen terhadap perkiraan
permintaan masyarakat (Edi, 2009).
Kepala
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan, Indonesia
mempunyai kebijakan untuk mengendalikan penduduk, antara lain melalui program
KB. Namun beberapa tahun terakhir program yang dilakukan melalui KB itu
stagnan.
Program
Keluarga Berencana (KB) yang diwujudkan pada penggunaan kontrasepsi juga
memiliki manfaat yang bersifat langsung atau tidak langsung bagi kesehatan ibu,
bayi dan anak, kesehatan dan kehidupan reproduksi dan seksual keluarga, dan
kesejahteraan serta ketahanan keluarga. Manfaat ini kurang memperoleh perhatian
semestinya meskipun menjadi faktor yang menentukan dalam mewujudkan kualitas
keluarga. Hal ini karena cara pandang Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan
reproduksi belum tersosialisasikan dengan baik sehingga penggunaan kontrasepsi
pada akhirnya akan menentukan kualitas keluarga (Hartanto, 2005).
Kebijakan
peningkatan KB masih perlu mendapatkan perhatian, utamanya dalam penyelesaian
struktur kelembagaan di kecamatan, sumber daya yang masih rendah kualitasnya
yang berdampak pada menurunya kualitas kemampuan berkomunikasi bagi penyuluh KB
dalam melakukan konseling KB. Fenomena yang demikian ini berimplikasi pada
penurunan tingkat kesertaan peserta KB baru saat ini. Kondisi yang demikain ini
diperlukan kebijakan penyelesaian dan kepastian kelembagaan pengelola KB di
Tingkat Kecamatan, serta perlunya meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan.
2. Kontrasepsi
Saat
ini tersedia metode-metode pengendalian kesuburan yang kuat dan efektif. Tidak
ada satu pun yang bebas sama sekali dari efek samping dan kondom lateks dapat
memicu reaksi analilaktik. Karena itu, sementara belum ada metode kontrasepsi
yang benar-benar aman, dan tanpa kontrasepsi akan lebih berbahaya lagi,
keduanya lebih aman daripada mengendarai mobil selama 1 tahun. Beberapa risiko
mi diperlihatkan di Mereka yang meresepkan kontrasepsi harus mengenali dengan
baik obat dan metode yang saat ini tersedia serta efek sampingnya. Kita harus
berupaya keras unhak mengurangi efek samping dan risiko ini hingga tingkat
minimum, mengenali dan mengatasinya, dan kita harus menyadari bahwa salah satu
risiko besar pada kegagalan kontrasepsi adalah kehamilan yang tidak
direncanakan.
Apabila
pasangan seksual yang diperkirakan subur tidak menggunakan metode kontrasepsi
apapun, sekitar 90 persen wanita yang bersangkutan akan hamil dalam 1 tahun.
Wanita muda, berapapun usianya, yang tidak ingin hamil seyogyanya dinasehati
untuk menggunakan kontrasepsi setiap kali mereka memulai aktivitas seksual.
Sebagian mungkin mayoritas wanita muda sudah mengalami ovulasi sebelum haid
pertama.
Nasehat
kontrasepsi bagi wanita menjelang menopause merupakan masalah yang lebih sulit
karena tidak mungkin memperkirakan kapan kesuburan berakhir. Hasil-hasil dan
penelitian oleh Metcalf (1979) mengisyaratkan bahwa apabila haid berlangsung
teratur, terdapat bukti bahwa terjadi ovulasi pada hampir setiap daur.
Oligomenorea atau memanjangnya siklus menyebabkan frekuensi haid berkurang
tetapi tidak menghentikan ovulasi secara total.
Bahkan
munculnya semburan panas (hot flushes), terjadinya amenorea, dan meningkatnya
kadar goriadotropin tidak menjamini secara mutlak bahwa kemudian tidak akan
terjadi ovulasi lagi. Folikel primordial dengan oosit yang tampak normal masih
mungkin dijumpai di ovarium wanita berusia 50 tahun atau lebih.
Walaupun
demikian, kehamilan jarang terjadi pada wanita berusia lebih dan 50 tahun.
Karena itu, wanita yang lebih tua sebaiknya diberitahu pada haid yang teratur
mengisyaratkan ovulast, berapapun usia mereka. Seorang wanita berusia kurang
dan 50 tahun yang sudah tidak mendapat haid selama 2 tahun sangat kecil
kemungkinannya mengalami ovulasi spontan, walaupun hal ini pernah dilaporkan
(Szlachter dkk., 1979).
a.
Kontrasepsi
Hormonal
Saat
diperkenalkan pada tahun 1960, kontrasepsi hormonal menjadi sebuah perubahan
drastis dan metode-metode tradisional sebelumnya. Kontrasepsi ini tersediĆ”
dalam berbagai bentuk, oral, injeksi, dan implan. Kontrasepsi oral adalah
kombinasi estrogen dan progestin atau hanya progestin. Kontrasepsi injeksi atau
implan hanya mengandung progestin atan kombinasi estrogen don progestin.
(Piccinino dan Mosher, 998a, 1998b).
Kontrasepsi
kombinasi estrogen-progesteron dapat diberikan per oral, suntikan intramuskular,
atau dalam bentuk koyo. Kontrasepsi oral paling sering digunakan yang terdiri
dari kombinasi suatu zat estroen dan bahan progestasional yang diminum setiap
hari selama 3 minggu dan berhenti selama 1 mlnggu, agar terjadi perdarahan
lucut (with drawal bleeding) dan
uterus.
Efek
kontraseptif obat-obat yang mengandung steroid bersifat multipel, tetapi efek
terpenting adalah mencegah ovulasi dengan menekan gonadotropin-releasing
factors dan hipota lamus. Hal ini menghambat sekresi follicle stimulat ing
hormone dan luteinizing hormon dan hipofisis. Estrogen saja dalam. dosis yang
memadai akan menghambat ovulasi dengan menekan gonadotro pin. Estrogen ini juga
mungkin akan menghambat implantasi dengan mengubah pematangan endome tnium.
Estrogen mempercepat transportasi ovum, namun progestin menyebabkan
perlambatan. Karena itu, peran keduanya dalam mengubah motilitas tuba dan
uterus masih belum jelas. Progestin menyebabkan terbentuknya mukus serviks yang
kental, sedikit, selular, dan menghambat perjalanan sperma. Kapasitasi sperma
juga mungkin terhambat. Seperti estrogen, progestin me nyebabkan endometnium
menjadi kurang memung kinkan untuk implantasi blastokista. Akhirnya, progestin
Juga dapat menghambat ovulasi dengan menekan gonadotropin. Efek nette atau efek
kombinasi dan estrogen dan progestin dalam kaitannva dengan kontrasepsi adalah
supresi ovulasi yang sangat efektif, penetrasi sperma oleh mukus serviks, dan
penghambat an implantasi di endometrium apahila dua meka nisme pentama gagal.
Kontrasepsi oral kombinasi estrogen plus progestin, apabila diminum selama 3
dan 4 minggu, maka akan menghasilkan proteksi terhadap kehamilan yang hampir
absolut.
b.
Kontrasepsi
Mekanis
Pada
satu saat di Amerika Serikat, sekitar 7 persen wanita yang aktif secara seksual
menggunakan alat kontrasepsi dalam rahirn (AKDR) untuk kontrasepsi. Dua alat
yang saat ini diizinkan permakaiannya di Amerika Serikat. Alat yang mengandung
levonorgestrel (AKDR-LNg) belum disetujui pemakaiannya. Persentase kehamilan
yang tidak diinginkan selama tahun pertarna pemakaian secara baik masing-masing
AKDR adalah 0,6 persen untuk Copper T (Cu T), 1,5 persen untuk Progestasert,
dan 0,1 persen untuk LNg 20. Angka kegagalan masing-masing biasanya adalah 0,8
person, 2,0 persen, dan 0,1 persen.
Dengan
informasi baru tentang keamanannya, AKDR kembali meraih popularitas karena
beberapa sebab. Yang kemungkinan besar menjadi sebab utamanya adalah hahwa Cu T
dan LNg 20 merupakan metode kontrasepsi reversibel efektif yang sifat nya
“pakai dan lupakan” dan tidak perlu diganti selama, masing-masing, 10 dan 5
tahun. Sekarangsudah dipastikan bahwa rnekanisme kerja utama AKDR bukanlah
sebagai abortifasien (menyebabkan abortos) melainkan kontrasepsi. Risiko
infeksi panggul jauh berkurang berkat pemakaian benang monofiiamen dan teknik-teknik
baru yang menjamm kea manan pemasangannya. Risiko kehamilan ektopik juga telah
dikianifikasi. Secara spesifik, efek kontraseptif AKDR sebenarnya menurunkan
jumlah kehamilan ektopik (World Health Orgatuzatwn, 1985,1987). Namun, apabila
memang terjadi kehamilan, lebih besar kemungkinannya kehamilan ektopik,
terutama pada pemakai Progestasert (Mishell dan Sulak, 1997). Akhirnya,
tuntutan hukum tampaknya muiai berkurang sejak Food and Drug Administration
sekarang menggolongkan Cu T dan Progestasert sebagai obat. Karena itu, produsen
harus mencantumkan informasi produk yang dapat dibaca oleh pasien sebelum
pemasangan. Hal ini, ditambah formulir persetujuan tindak medik yang mencakup
daftar risiko dan manfaat, kiranya dapat mengurangi tuntutan hukum (Mishell dan
Sulak, 1997).
Sementara
itu AKDR Levonorgestrel (AKDR-LNg) adalah Alat yang serupa dengan Progestasert,
tetapi mengandung levonorgestrel. Saat ini, AKDR tersebut digunakan di Eropa
dan sedang diuji di Amerika Serikat. Keunggulan utamanva adalah keharusan
mengganti yang hanya setiap 5 tahun, dibandingkan dengan Progestasert yang
setiap tahun. Alat iru membebaskan levonorgestrel ke dalam uterus dengan
kecepatan relatif konstan 20 kg/hari, yang secara nyata mengurangi efek
sistemik progestin. AKDR ini adalah polietilen berbentuk huruf T yang batangnya
terbungkus oleh campuran polidimetilsiloksan/levonorgestrel. Campuran ini
dilapisi oleh suatu membranpermeabel yang mengatur kecepatan pembahasan hormon.
COPPER T 380A. Alat ini terdiri dan polietilen dan barium sulfat. Batangnya
dibalut oleh 314 mm2 kawat tembaga halus, dan kedua lengan masing-masing
mengandung 33 mm2 gelang tembaga, sehingga total tembaga adalah 380 mm2. Dan
pangkal batang menjulur dua helai benang. Pada awalnya, benang-benang tersebut
berwarna biru, tetapi sekarang warnanya putih kekuningan. Alat ini jangan
“diisikan” ke dalam tabung pemasang lebih dan 5 menit sebelum pemasangan.
https://dktindonesia.org/
ReplyDelete