A.
Latar
Belakang
Kehutanan merupakan sektor vital
bagi kelangsungan hidup manusia. Karena hutan merupakan penyangga kehidupan
yang memiliki peran penting untuk keseimbangan bumi. Dengan demikian hutan
adalah modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata bagi kehidupan
bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara
seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus, dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan
secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi
sekarang maupun yang akan datang.[1]
Untuk itu diperlukan sebuah
perencanaan pembangunan yang matang di sektor kehutanan, karena kehutanan
merupakan kepentingan masyarakat dunia, bukan hanya Indonesia semata, karena
apabila perencanaan pembangunan dijalankan dengan benar maka bencana bencana
dibidang kehutanan dapat dihindari
Sehubungan dengan itu struktur
perencanaan pembangunan di Indonesia, berdasarkan hierarki dimensi waktunya
mengacu pada UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN), yang dibagi menjadi perencanaan jangka panjang, jangka
menengah (lima tahunan) dan jangka pendek (satu tahunan). Dengan undang-undang
ini dikenal satu bagian penting dari perencanaan wilayah yaitu apa yang disebut
sebagai rencana pembangunan daerah, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJP-D), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-D) dan
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) serta Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) dan
Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD) sebagai
kelengkapannya.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
2010 Tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010
menargetkan antara lain agar 17 provinsi, 36 kabupaten dan 20 kota di Indonesia
mempunyai Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sebagai
tindak lanjut, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) melalui Ditjen. Penataan Ruang
bersama Pemerintah Daerah terus berupaya memacu percepatan RTRW tersebut, untuk
itu tata ruang kehutanan merupakan pembangunan nasional yang sangat tidak boleh
mengandung unsur-unsur kesengajaan yang dapat merusak ekologi hutan dan
mebutuhkan pemanfaatan secara optimal.
Pemanfaatan ruang optimal merupakan
pemanfaatan ruang yang memberikan kesempatan pada setiap komponen aktivitas
dalam unit ruang tersebut berinteraksi secara maksimal, sesuai daya dukung
kawasan yang pada akhirnya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang berkepentingan secara berkelanjutan. Aktivitas manusia, baik sosial
maupun ekonomi merupakan sumber perubahan dalam pemanfaatan ruang atau kawasan.
Dinamika sosial yang diikuti oleh dinamika aktivitas ekonomi akan selalu
membawa perubahan tata ruang yang dinamis pula.[2]
Di dalam Undang-Undang nomor 41/1999
tentang Kehutanan, pada Pasal 5 ayat 3 UU No. 41 tahun 1999 dinyatakan bahwa
penetapan status hutan dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah yang dimaksud di
sini adalah pemerintah pusat (Pasal 1 angka 14 UU No. 41 tahun 1999). Dalam
Peraturan Pemerintah nomor 44/2004 tentang Perencanan Kehutanan pada Pasal 15
dinyatakan bahwa pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oleh Menteri (dalam
hal ini Menteri Kehutanan). dibandingkan dengan Undang-Undang nomor 5/1960
tentang Pokok Agraria (UUPA) maka akan bertentangan dengan Pasal 19 UUPA
mengenai pendaftaran tanah dimana Penyelenggaraan pendaftaran tanah dilakukan
oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Praktek dualisme administrasi
pertanahan selama ini telah menambah beban Kemenhut dan memperumit administrasi
pertanahan di Indonesia. Kemenhut harus mengurusi tanah di kawasan hutan,
sebaliknya kondisi ini membatasi kewenangan Kemenhut untuk mengurus pengelolaan
hutan yang berada di atas tanah-tanah di luar kawasan hutan. Pengelolaan hutan
di atas Areal Penggunaan Lain (APL) tidak ada pada Kemenhut tetapi pada
Pemerintah Daerah.[3]
B.
Kepentingan
Penataan Ruang Dalam Kebijakan Perubahan Kawasan Hutan
Perencanaan pembangunan di daerah
seperti diamanatkan oleh UU No. 25 Tahun 2004 Tentang SPPN, mewajibkan daerah
untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang berdurasi waktu
20 (dua puluh) tahun yang berisi Tentang visi, misi dan arah pembangunan
daerah. Perencanaan ini kemudian dijabarkan dalam RPJM-D yang berdurasi waktu 5
(lima) tahun, yang memuat kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan
daerah, arah kebijakan umum, program SKPD dan lintas SKPD, program kewilayahan
disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan.
RPJM Daerah dijabarkan dalam perencanaan berdurasi tahunan yang disebut sebagai
RKPD yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan
daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh
pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.[4]
Kondisi lingkungan hidup yang tidak
kunjung membaik selama penerapan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang
(UUPR), telah mendorong kesadaran akan pentingnya pengaturan aspek lingkungan
hidup secara lebih serius, sebagaimana pengaturan dalam UU No. 26 Tahun 2007
Tentang UUPR pengganti UU No. 24 Tahun 1992. Di samping perhatian terhadap daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup, beberapa ketentuan dalam UUPR yang
terkait dengan lingkungan hidup, antara lain: [5]
1.
Ketentuan agar alokasi kawasan hutan dalam satu
Daerah Aliran Sungai (DAS) sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh per seratus)
dari luas DAS dengan distribusi disesuaikan dengan kondisi ekosistem DAS;
2.
Ketentuan agar alokasi Ruang Terbuka Hijau (RTH)
di kawasan perkotaan sekurang-kurangnya 30 % (tigapuluh per seratus) dari luas
kawasan perkotaan, di mana 2/3nya merupakan RTH publik dengan distribusi
disesuaikan dengan sebaran penduduk. Tantangan dari penerapan ketentuan ini
yaitu:
a. Penurunan
luas
kawasan hutan dan RTH dalam satu wilayah
administrasi yang memiliki kawasan hutan dan/atau RTH lebih dari 30 % (tiga
puluh per seratus) sebagaimana disyaratkan dalam UUPR; 2) Pendistribusian
kawasan hutan dalam satu DAS yang disesuaikan dengan kondisi ekosistem DAS
dapat menyebabkan kawasan hutan terpusat di wilayah hulu, sehingga akan tidak
menguntungkan daerah yang berlokasi di wilayah hulu. Untuk itu perlu ada upaya:
a) harus ada mekanisme subsidi silang agar daerah yang berlokasi di wilayah
hulu tidak dirugikan akibat kehilangan peluang pemanfaatan sumber daya alam
yang dimiliki; b) harus ada koordinasi agar seluruh daerah administrasi
menyepakati distribusi kawasan hutan dalam satu DAS.
Namun persoalannya; untuk
menerapkan ketentuan di atas memang tidak mudah, karena faktanya di lapangan
hampir pada sebagian besar wilayah daerah tidak lagi memiliki kecukupan areal
seluas 30 % terutama untuk kawasan hutan yang masih berhutan, terlebih lagi di
pulau Jawa. Hal ini disebabkan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
yang tidak taat asas, turut menyumbang bagi kerusakan kawasan hutan dan
lingkungan hidup. Praktik perubahan peruntukan, perubahan fungsi dan penggunaan
kawasan hutan melalui mekanisme RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten yang banyak
dilakukan dewasa ini juga cenderung melanggar kewenangan, substansi dan juga
prosedur. [6]
Dalam penyusunan RTRWP dan RTRWK,
telah menjadi ajang tawar-menawar proses perubahan kawasan hutan untuk
kepentingan pihak tertentu. Tidak jarang pula dijumpai kebijakan pemerintah
daerah yang memasukkan kawasan hutan, baik yang sudah tidak berhutan maupun
relatif berhutan, menjadi areal pengembangan budi daya pertanian seperti
perkebunan, tidak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
persyaratan yang telah ditetapkan.
Akibatnya, arahan pengelolaan
kawasan lindung, arahan pengembangan kawasan budi daya, arahan struktur tata
ruang dan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah, tidak memenuhi
standar dan kriteria fungsi lindung dan fungsi budi daya. Rendahnya keabsahan
produk RTRWP dan RTRWK telah menyebabkan semakin meluasnya konflik penguasaan
lahan, tumpang tindih dalam bidang perizinan, tidak jelasnya status hukum dan
fungsi kawasan hutan dan okupasi areal hutan lindung untuk perkebunan dan budi
daya pertanian lainnya, baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun oleh
masyarakat. Perubahan kawasan hutan melalui proses RTRWP dan RTRWK sering
dilakukan secara sepihak dan tidak sesuai dengan prosedur, kondisi ini tentu
semakin mempercepat lenyapnya kawasan hutan. [7]
Penataan ruang berdasarkan UU No.
26 Tahun 2007, terdiri atas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu juga dinyatakan bahwa ruang terbagi
habis antara kawasan lindung dan kawasan budi daya. Secara fungsional ruang
terdiri atas kawasan perkotaan, kawasan perdesaan dan kawasan tertentu.
C.
Prinsip
Perubahan Kawasan Hutan
Iskandar mengemukakan prinsip hukum
pengelolaan lingkungan hidup sebagi instrumen pencegahan kerusakan kawasan
hutan, khususnya terkaitnya dengan kebijakan perubahan peruntukan, perubahan
fungsi dan penggunaan kawasan hutan, dimana ada 13 prinsip yang relevan dalam
pengelolaan kawasan hutan berkelanjutan ( general
principles of the forest area sustainable management ).[8]
1.
prinsip Keadilan ( the principles of justice ).
2.
prinsip akses pada informasi ( the principles of acces to information )
3.
prinsip partisipasi publik ( the principles of acces to information )
4.
prinsip kehati-hatian ( precautionary principles )
5.
prinsip perlindungan keanekaragaman hayati ( biodiversity conservation principles )
6.
prinsip tindakan pencegahan ( the principles of precaution/prevention
action )
7.
prinsip internalisasi biaya lingkungan ( the principles of internalization of
environmental costs )
8.
prinsip daya dukung lingkungan ( the principles of environmental capacity)
9.
prinsip keutuhan ( the principles of wholenes/holistic )
10.
prinsip keseimbangan ( the principles of balance )
11.
prinsip keterpaduan ( principles of integration )
12.
prinsip jaminan kepastian hukum atas status
kawasan hutan ( the principles of legal
certainty over the status of forest areas )
13.
prinsip penanggulangan dan penegakan hukum, baik preventif maupun refresif secara
tegas dan dan konsisten ( prevention and
law enforcement, both preventive and repressive firmly and consistenly ).[9]
D.
Dinamika
Penetapan dan Perubahan Ruang Kehutanan
Pertumbuhan penduduk dan
peningkatan aktivitas ekonomi setiap waktu membutuhkan peningkatan kebutuhan
ruang. Di sisi lain, ruang sifatnya tetap dalam arti kapasitasnya, namun selalu
berubah seiring dengan dinamika dalam pemanfaatan ruang. Perubahan pemanfaatan
ruang yang tidak memperhitungkan aspek keseimbangan geobiofisik akan berakibat
kepada pemanfaatan ruang yang tidak optimal atau mengakibatkan terjadi
bencana. Oleh karena itu, sifat dinamis
tersebut perlu dipertimbangkan dalam pendekatan optimalisasi pemanfaatan ruang.[10]
Dinamika tata ruang bersumber pada
dinamika penduduk beserta aktivitas sosial dan ekonomi. Setiap aktivitas
tersebut berdampak pada perubahan tata ruang yang ada dari waktu ke waktu.
Sampai pada tingkat tertentu, aktivitas sosial dan ekonomi pada akhirnya akan
dibatasi oleh kemampuan daya dukung biofisik kawasan.
Ruang diisi oleh tiga jenis sumber
daya yaitu sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia. Sumber
daya alam terbagi atas sumber daya alam dapat pulih (renewab/e resource) dan sumber daya alam tidak dapat pulih (non renewab/e
resource). Sumber daya alam dapat pulih diantaranya seperti sumber daya hutan,
sumber daya lahan, atau sumber daya perikanan laut bila dieksploitasi melebihi
daya regenerasinya akan berakibat kepunahan dan merusak keseimbangan ekosistem.[11]
Setiap sumber daya alam memiliki
dua fungsi utama yaitu fungsi fisik/ekosistem atau ekologi dan fungsi ekonomi.
Tidak jarang sumber daya alam hanya dilihat dari satu fungsi saja yaitu fungsi
ekonomi, sehingga fungsi ekologi terabaikan. Hal ini didorong oleh kemampuan
manusia untuk melihat ke depan dan lebih cenderung bersifat jangka pendek dan
sesaat. Semakin rendah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), kemiskinan,
ketidakpastian dan ketidakadilan akan mendorong manusia makin bersifat
pragmatis, oportunis dan melihat kepentingan sesaat, sehingga sumber daya alam
banyak mengalami kerusakan dan ruang tidak ditata dengan baik serta banyak
pelanggaran terhadap produk rencana tata ruang.[12]
Banyak faktor yang menentukan
keberhasilan penataan ruang yaitu (1) Produk rencana tata ruang yang akurat dan
berkualitas; (2) Dinamika pemanfaatan
ruang yang mengacu produk rencana tata ruang; (3) Proses pengendalian
pemanfaatan ruang yang konsisten dan tegas; (4) Peran masyarakat dalam penataan
ruang. Tentu ke empat hal tersebut dapat diuraikan lebih rinci menjadi
butir-butir yang harus diperhatikan dalam penataan ruang.
Dalam konsep penataan ruang
menghendaki ruang yang tertata secara serasi, selaras, seimbang dan
berkelanjutan. Kebutuhan ruang boleh meningkat seiring dengan pertumbuhan
penduduk dan pertumbuhan aktivitas ekonomi, namun ruang memiliki daya dukung
yang terbatas. Dengan demikian, diperlukan rekomendasi penataan ruang yang
selalu diperbarui sesuai dengan perkembangan, tetapi tetap memperhatikan
keseimbangan ekosistem dalam ruang itu sendiri. Mekanisme ini dikenal dengan
proses revisi penataan ruang.
Sayangnya proses revisi yang
terjadi selama ini bukan untuk mengevaluasi dan kemudian mengendalikan
penyimpangan rencana tata ruang, tetapi lebih kepada penyesuaian dan legitimasi
penataan ruang.[13]
Dalam penataan ruang, posisi
kawasan hutan dimungkinkan terdapat dalam kawasan budi daya dan/atau dalam
kawasan lindung. Kawasan hutan yang masuk dalam kawasan budi daya yaitu hutan
produksi, baik itu hutan alam maupun hutan tanaman, termasuk hutan rakyat,
sedangkan kawasan hutan yang masuk dalam kawasan lindung yaitu hutan lindung
yang dapat terdiri atas beberapa jenis hutan seperti taman nasional, suaka
margasatwa, cagar alam, hutan pendidikan dan lain-lain.
Dalam penataan ruang selama ini,
luas kawasan hutan seakan statis, karena dikaitkan dengan masalah kewenangan
sektor kehutanan, tidak peduli apakah kawasan hutan tersebut berhutan atau
tidak. Seharusnya luas kawasan hutan ditetapkan dalam sistem yang dinamis
dengan mengkaitkan fungsi kawasan hutan yang multi fungsi dengan subsistem
biogeoƱsik, subsistem ekonomi dan subsistem sosial, budaya dan kependudukan,
bahkan pertahanan dan keamanan. Dengan demikian, dapat ditentukan luas kawasan
hutan minimum yang harus ada di suatu wilayah yang dapat menjamin keberlanjutan
proses pembangunan dalam arti mampu meminimalisir kemungkinan adanya bencana
yang muncul. Apabila terjadi suatu bencana, hal itu memang di luar perhitungan
dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Apabila sudah diketahui luas
hutan dan/atau kawasan hutan minimum yang harus ada, maka hal tersebut menjadi
masukan utama dalam penataan ruang. Sebagaimana bencana tsunami di Aceh,
musnahnya hutan mangrove turut memberi andil terhadap besarnya dampak kerusakan
yang terjadi.[14]
Sektor kehutanan merupakan salah
satu pemanfaatan ruang yang sangat penting mengingat bahwa lebih dari 60 °/o
dari ruang daratan Indonesia ditetapkan sebagai kawasan hutan, sebagaimana
telah diuraikan pada subpokok bahasan sektor pertanahan/agraria di muka.
Di dalam Undang-Undang nomor
41/1999 tentang Kehutanan, pada Pasal 5 ayat 3 UU No. 41 tahun 1999 dinyatakan
bahwa penetapan status hutan dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah yang
dimaksud di sini adalah pemerintah pusat (Pasal 1 angka 14 UU No. 41 tahun
1999). Dalam Peraturan Pemerintah nomor 44/2004 tentang Perencanan Kehutanan
pada Pasal 15 dinyatakan bahwa pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oleh
Menteri (dalam hal ini Menteri Kehutanan).
Dengan ketentuan ini maka
kewenangan penetapan kawasan hutan hanya berada di tangan Menteri Kehutanan,
bukan di tangan pemerintah (pusat). Jika dibandingkan dengan Undang-Undang
nomor 5/1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) maka akan bertentangan dengan Pasal
19 UUPA mengenai pendaftaran tanah dimana Penyelenggaraan pendaftaran tanah
dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Selesainya pengukuhan kawasan hutan
tidak berarti persoalan hukum tuntas. Dasar hukum bagi Kemenhut untuk menguasai
tanah di dalam kawasan hutan negara perlu diberikan. Dalam hal ini Pasal 2 ayat
4 UUPA memberikan dasar hukum pemberian hak pengelolaan kepada instansi
pemerintah untuk menguasai tanah.
E.
Kesimpulan
Penataan ruang berdasarkan UU No.
26 Tahun 2007, terdiri atas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu juga dinyatakan bahwa ruang terbagi
habis antara kawasan lindung dan kawasan budi daya. Secara fungsional ruang
terdiri atas kawasan perkotaan, kawasan perdesaan dan kawasan tertentu.
Dalam penataan ruang selama ini,
luas kawasan hutan seakan statis, karena dikaitkan dengan masalah kewenangan
sektor kehutanan, tidak peduli apakah kawasan hutan tersebut berhutan atau
tidak. Seharusnya luas kawasan hutan ditetapkan dalam sistem yang dinamis
dengan mengkaitkan fungsi kawasan hutan yang multi fungsi dengan subsistem
biogeoƱsik, subsistem ekonomi dan subsistem sosial, budaya dan kependudukan,
bahkan pertahanan dan keamanan. Dengan demikian, dapat ditentukan luas kawasan
hutan minimum yang harus ada di suatu wilayah yang dapat menjamin keberlanjutan
proses pembangunan dalam arti mampu meminimalisir kemungkinan adanya bencana
yang muncul.
[1]Bagian Investasi dan Pelaksanaan
Anggaran Biro Keuangan, Pedoman Investasi Kehutanan, Sekretariat
Jenderal Kementerian Kehutanan, Jakarta, 2013, hal 1
[2] Iskandar, Hukum Kehutanan, Mandar Maju, Bandung, 2015, hal 129
[3]
Ibid, hal 128
[4]
Ibid, hal 131
[5]
Ibid, hal 143-145
[6]
Ibid, Hal 160
[7] Ibid
[8] Ibid, hal 230-231
[9] Ibid, hal 231-232
[10] Bagian Investasi dan Pelaksanaan
Anggaran Biro Keuangan, Op, Cit.hal
15
[11] Ibid, hal 16
[12] Iskandar, Op., Cit. Hal 140
[13] Ibid, hal 143
[14] Ibid, hal 143
0 Komentar Untuk "KEPENTINGAN PENATAAN RUANG DALAM PERUBAHAN KAWASAN HUTAN DI INDONESIA"
Post a Comment