Hubungan antar negara menyangkut berbagai
aspek dalam kehidupan. Termasuk dengan berkembangnya diberbagai bidang
kehidupan, namun dalam perkembangannya hampir setiap bidang mempunyai nuansa
internasional dan disentuh oleh hukum internasional.
Salah satu pembahasan dalam memaparkan
berbagai hubungan yang terjadi di dunia ini adalah hubungan internasional,
yaitu dengan mempelajari manusia dan kebudayaan yang berbagai masyarakat
diseluruh dunia. Hubungan internasional adalah kunci utama negara atau
dasar–dasar negara sebagai dari salah satu bagian dari interaksi negara-negara
dalam dunia internasional, dimana negara sebagai aktor utama.
Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi
dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan
oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan
hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”. Pada awalnya Yurisdiksi merupakan konsekuensi
logis dari kedaulatan negara atas wilayahnya. Yurisdiksi negara atas individu,
benda dan lain-lain dalam batas wilayahnya (teritorial daratan, laut dan udara)
pada akhirnya dapat berkembang/meluas melalui batas-batas negara (perluasan atas
individu dan benda-benda yang terletak dinegara lain).
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan
(judicial jurisdiction) mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah
kewenangan hokum pengadilan suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut
keperdataan baik yang sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat
perdata internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik
menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan
dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan hokum pengadilan suatu
Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional
maupun yang terdapat unsur asing di dalamnya.
A. Pengertian
“Yurisdiksi” berasal dari bahasa Inggris
“Jurisdiction”. “Jurisdiction” sendiri berasal dari bahasa Latin “Yurisdictio”,
yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum,
dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Jadi, dapat
disimpulkan yurisdiksi berarti : kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum,
hak menurut hukum, kekuasaan menurut hukum, dan kewenangan menurut hukum.
Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan
seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat
dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau
kewenangan berdasarkan hukum”.
Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip
dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara
tersebut tidak memiliki jurisdiksi, persamaan derajat negara dimana kedua
negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi
(wewenang) terhadap pihak lainnya (Buana, 2007), dan prinsip tidak turut campur
negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat
dari prinsip hukum, par in parem non habet imperium”.
Mengenai pengertian kedaulatan bisa dikatakan
sebagai kedaulatan yang ditujukan kedalam wilayah hukum dari Negara yang
bersangkutan. Dan kedaulatan tersebut diantaranya direalisasikan dalam bentuk kewenangan atau kemampuan untuk
:
a.
Membentuk
hukum
b.
Mendapatkan
ketundukan
c.
Dan
memutus persoalan yang timbul dalam yurisdiksinya
Menurut Adolf, berdasarkan hak, kekuasaan dan
kewenangan mengaturnya, yurisdiksi suatu negara di dalam wilayah negaranya
dapat terbagi sebagai berikut:
o Yurisdiksi Legislatif, yaitu kekuasaan
membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengatur hubungan atau status
hukum orang atau peristiwa-peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan
seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga acapkali
disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau preskriptif (legislative
jurisdiction atau prescriptive jurisdivtion).
o Yurisdiksi Eksekutif, yaitu kekuasaan negara
untuk memaksakan atau menegakkan (enforce) agar subyek hukum menaati hukum.
Tindakan pemaksaan ini dilakukan oleh badan eksekutif negara yang umumnya
tampak pada bidang-bidang ekonomi, misalnya kekuasaan untuk menolak atau
memberi izin, kontrak-kontrak, dan lain-lain.
o Yurisdiksi Yudikatif, yaitu kekuasaan
pengadilan untuk mengadili orang (subyek hukum) yang melanggar peraturan atau
perundang-undangan disebut pula sebagai Judicial jurisdiction.
B. Yurisdiksi
Dalam Hukum Internasional
Dalam praktiknya kata yurisdiksi sering
memiliki bebarapa arti seperti di pengadilan Inggris dalam kasus custody of
children sering dinyatakan bahwa para pihak dilarang melakukan “out of the jurisdiction of the court”
terhadap anak-anak yang berarti melarang membawa anak-anak keluar dari Inggris.
Kata jurisdiction di sini berarti territory. Dalam Piagam PBB sering digunakan
istilah domestic jurisdiction yang berarti kewenangan domestik. Meskipun
demikian, dalam praktik, kata yurisdiksi paling sering untuk menyatakan
kewenangan yang dlaksanakan oleh Negara terhadap orang, benda atau peristiwa.
Menurut Wayan Parthiana, kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau kewenangan yang
dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan Negara lainnya yang berdasarkan
atas hukum yang berlaku. Bila yurisdiksi dikaitkan dengan Negara maka akan
berarti kekuasaan atau kewenangan Negara untuk menetapkan dan memaksakan (to
declare and to enfore) hukum yang dibuat oleh Negara atau bangsa itu sendiri.
Jurisdiksi sebagai sebuah topic dalam
monograf monograf hokum internasional di Negara Negara common law . Sementara
itu monograf monograf continental mengambil langkah berbeda, dengan
menjadikannya sebagai salah satu aspek dalam pembahasan mengenai Negara ataupun
wilayah atau yang berkaitan dengan hokum internasional. Sedangkan posisi
Indonesia cukup unik walau Indonesia mendapat pengaruh yang kuat dari eropa
continental tetapi tidak bisa dikatakan Indonesia sebagai bagian darinya.
C. Dasar-
dasar Yurisdiksi
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan
(judicial jurisdiction) mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan
hokum pengadilan suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut
keperdataan baik yang sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat
perdata internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik
menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan
dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan hokum pengadilan suatu
Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni
nasional maupun yang terdapat unsure asing di dalamnya.
Hokum internasional public tidak banyak
membuat aturan atau pembatasan berkaitan dengan kasus-kasus perdata
internasional. Hokum internasional public lebih memfokuskan diri pada
yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional.
Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang
dikenal dalam hokum internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk
mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip
tersebut ialah :
1. Teritorial
Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki
yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau
teritorialnya. Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan
prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi
dalam HI. Menurut Hakim Loed Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi
terhadap semua orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam
batas-batas territorialnya sebagai pertanda Negara tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana
suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan:
Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban
sosialnya paling terganggu;
·
Biasanya
pelaku ditemukan Negara dimana kejahatan
dilakukan;
·
Akan
lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat
lebih efisien dan efektif;
·
Seseroang
WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap menyerahkan diri pada system
HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di Negara yang
ia datangi maka ia harus tunduk pada hokum stempat meskipun mungkin apa yang ia
lakukan sah (lawful) menurut system HN negaranya sendiri.
Dengan demikian, ketika seorang WN Australia
tertangkap basah menyimpan dan memperjualbelikan ganja di sebuah hotel
Denpasar, Bali Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya terhadap
orang tersebut.
Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan
yurisdiksi territorial tidaklah absolute. Ada beberapa perkecualian yang diatur
dalam HI dimana Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi territorialnya,
meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
a)
Terhadap
pejabat diplomatic negara asing
b)
Terhadap
negara dan kepala negara asing
c)
Terhadap kapal public negara asing
d)
Terhadap
organisasi internasional
e)
Terhadap
pangkalan militer negara asing
2. The
Effect Doctrine
Konsep ini telah dikembangkan oleh beberapa
Negara terutama Amerika Serikat (AS). AS dalam kasus alcoa menklaim memiliki
jurisdiksi atas tindakan dari sebuah perusahaan asing yang merupakan anggota
dari kartel. Aktivitas kartel itu ditujukan untuk mempengaruhi impor dan ekspor terhadap AS, yang kemudian tuduhan
ini terbukti, yang paling signifikan dalam putusan ini adalah tidak menekankan
pada tindakan yang bersifat fisik tapi tindakan yang bersifat intensional
terhadap situasi upaya untuk menerapkan hokum dari suatu Negara di wilayah
Negara lain.
3. Kebangsaan
Prinsip
Kebangsaan adalah prinsip didasarkan pada kekuasaan negaranya atas warga
negaranya. setiap warga negara dimanapun
ia berada, tetap mendapatkan perlakuan hukum dari negaranya. Maka prinsip ini
mempunyai kekuatan Ekstrateritorial yang berarti bahwa hukum dari negara
tersebut tetap berlaku juga bagi warga negaranya yang berada di negara lain.
Prinsip ini memiliki sifat yang terbuka namun harus memenuhi persyaratan yang
sudah ditetapkan oleh suatu negara tersebut.
Secara
umum persoalan yang terkait dengan kebangsaan didasarkan pada hubungan terhadap
Negara yang bersangkutan. Keterkaitan tersebut bisa disebabkan karena
dilahirkan diwilayah Negara tersebut ( jus soli) atau bisa diesebabkan karena
keturunan atau orang tuanya warga Negara dari Negara tersebut (jus sanguinis).
Disamping itu, hukum nasional membedakan antara anak yang dilahirkan tanpa
bapak dan dengan bapak. Dalam hal yang tidak punya bapak pada umumnya mengikuti
kewargaan bapaknya
4. Nasionalitas
Pasif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi
terhadap warganya yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di
luar negeri. Dengan prinsip ini maka Indonesia akan memiliki yurisdiksi
berdasarkan prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip (Warga Filipina) yang
membunuh Soni (Warga Indonesia) di Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989,
Amerika mengadili Yunis, warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan pesawat
Yordania di Timur Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa warga
AS yang ada dalam pesawat Yordania itu menjadi korban perbuatan Yunis.
5. Prinsip
Protektif
Berdasarkan
prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap orang asing yang
melakukan yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan yang sangat
serius yang mengancam kepentingan vital Negara, keamanan, integritas dan
kedaulatan, serta kepentingan vital ekonomi Negara, Atau biasa juga disebut sebagai yurisdiksi
yang timbul berdasarkan adanya kepentingan keamanan sebuah Negara.
Dalam
banyak sistem hukum mengakui bahwa negara-negara memiliki yurisdiksi terhadap
kejahatan yang dilakukan oleh orang asing, diluar wilayahnya, yang mengancam
keamanan negara tersebut atau mengancam jalannya pemerintahan negara tersebut.
Contoh
dari pelaksanaan prinsip ini adalah, kasus United States v. Archer (1943) yang
diputuskan bahwa hukum Amerika dapat menghukum warga negara asing yang
melakukan perjury terhadap diplomat Amerika di luar negeri.
Contoh
lain, Israel di tahun 1972 membuat peraturan perundangan yang memberikan
yurisdiksi kepada pengadilan Israel untuk mengadili setiap orang yang melakukan
kejahatan di luar negeri yang mengancam keamanan, ekonomi, transportasi atau
komunikasi dari negara Israel.
6. Prinsip
Universal
Berdasarkan
prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan
internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku
maupun korban. Alas an munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang
yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk
pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh
suatu Negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.
Yurisdiksi
universal dalam hokum internasional bertujuan untuk memproses fenomena
pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious international
crime tanpa di bawah hokum internasional yang menikmati impunity bebas
bepergian ke suatu tempat yang diinginkannya setelah ia melakukan serious
international crime tanpa bisa dimintai pertanggungjawaban bahkan hanya untuk
sekedar diinvestigasi.
Yurisdiksi
universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa cirri menonjol
sebagai berikut:
Setiap
Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase “setiap negara”
mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung jawab untuk turut serta
secara aktif menyelamatkan masyarakat
internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime, sehingga merasa
wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa bertanggung jawab tersebut harus
dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk melindungi pelaku dengan memberikan
safe heaven dalam wilayah negaranya.
Setiap
Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu
mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan dimana
serious crime dilakukan. Dengan kata lain dapat dikatakan tidak diperlukan
titik pertautan antara Negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya dengan
pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya
pertimbangan yang diperlukan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau
tidak? Tidak mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal bia
pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran hokum
internasional bila Negara memaksa menangkap seseorang yang berada di wilayah
Negara lain.
Setiap
Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap pelaku serious
crime atau yang lazim disebut internastional crime.
Berdasarkan
karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa pada
hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi untuk mengisi kekosongan hokum dalam
pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-tindak pidana internasional. Hakikat
yurisdiksi universal berbeda dengan yurisdiksi yang lain karena tidak
memerlukan titik pertautan antara Negara yang melaksanakan yurisdiksinya dengan
pelaku, korban, dan tindak pidana itu sendiri. Kekosongan hokum dapat diatasi
dengan diberikannya wewenang oleh hokum internasional kepada setiap Negara
untuk melaksanakan yurisdiksi universal.
Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, selama ini yurisdiksi universal hanya dapat diterapkan
dalam kasus-kasus international crime menurut hakim Supreme Court Amerika
Serikat dalam Hostage Case adalah : “an international crime is such an act
universally recognized as criminal, which is considered as agrave matter of
international concern and for some valid reason cannot be left within the state
that would have control over it under normal circumatances”
Dengan
demikian, untuk menjadi international crime harus memenuhi beberapa syarat
sebagai berikut:
·
Perbuatan
itu diakui universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan sebagai tindak
pidana dalam semua system hokum pidana di semua Negara. Semua Negara mengutuk
(condemn) perbuatan itu dan menentukan hukumannya yang layak.
·
Tindak
pidana itu harus memenuhi criteria tertentu sebagai international crime, yaitu
bahwa pelakunya merupakan musuh umat manusia dan tindakannya bertentangan
dengan kepentingan umat manusia sehingga penegakan hokum internasionalnya harus
dilakukan, dengan melalui hokum kebiasaan internasional maupun perjanjian
internasional, dengan menghukum pelakunya.
·
Arena
sifatnya yang sangat membahayakan masyarakat internasional maka sangat
beralasan untuk tidak hanya memberikan yurisdiksi pada suatu Negara saja yang
jika dalam keadaan normal memang berhak untuk melaksanakannya.
Hukum internasional klasik menyebutkan
kejahatan perang (war crime) dan piracy sebagai kejahatan internasional yang
kepadanya dapat diterapkan yurisdiksi universal. Pasal 404 Restatement (Third)
of the Foreign Relations Law of United States menyebutkan yurisdiksi universal
diberlakukan terhadap piracy, perdagangan budak, attack or hijacking of
aircraft, genocide, war crimes dan terrorism. ICTY memasukkan pelanggaran berat
Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran hokum atau kebiasaan perang, genocide, dan
kejahatan kemanusiaan sebagai kejahatan internasional yang memerlukan
yurisdiksi universal. Yurisdiksi ICTR mencakup genocide, kejahatan kemanusiaan,
pelanggaran pasal 3 bersama Konvensi Geneva dan Protokol Tambahan II 1977.
Adapun Statuta ICC menyebutkan genocide, war crime, kejahatan kemanusiaan dan
kejahatan agresi sebagai yurisdiksinya.
7. Treaty-Based
Extensions Of Jurisdiction
Jurisdiksi
ini diperoleh suatu Negara melalui ketentuan yang terdapat dalam suatu
perjanjian internasional. Pada umumnya perjanjian seperti ini memiliki
kesamaan. Sebagai contoh adalh pasal 1 dari the
1971 Montreal Convention for the Suppression of unlawful Acts against the
safety of Civil Aviation menyatakan bahwa seseorang melakukan kekerasan
terhadap orang lain didalam pesawat terbang dan dapat membahayakan pesawat
tersebut.
Dalam
model ini tidak mempersoalkan kewarganegaraan dari si pelaku atau tempat dimana
kejahatan tersebut dilaksanakan. Akan tetapi hal ini mencerminkan provisi aut dedere, aut iudicare, yang
memberikan kewajiban bagi suatu Negara untuk mengekstradisi si pelaku dengan
tujuan supaya mendapatkan hukuman atau Negara tersebut menuntut sendiri pelaku
tersebut. Bisa dikatakan tujuan dari prinsip ini adalah untuk mencegah si
pelaku kejahatan dari hukuman atau bisa juga dikatakan sebagai jurisdiksi
universal antara Negara Negara peserta.
.
D. Ekstradisi
Pemerintah
Indonesia telah memiliki “undang-undang payung” (umbrella act) untuk
ekstradisi dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan
untuk kerja sama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan
asset, dengan Undang-undang No 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam
Masalah Pidana (mutual assistance in criminal matters). Perbedaan kedua
bentuk perjanjian kerja sama penegakan hokum tersebut adalah,
bahwa perjanjian ekstradisi untuk tujuan penyerahan orang (pelaku
kejahatan), sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan dalam proses
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk
pengusutan, penyitaan dan pengembalian asset hasil kejahatan. Permintaan
penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan
pengembalian asset hasil kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan yang
bersangkutan. Kedua bentuk perjanjian tersebut harus saling melengkapi dan
bukan dilihat secara terpisah. Hal ini berarti permintaan ekstradisi wajib
dilengkapi dengan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana terutama
pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan yang
bersangkutan.
Ekstradisi
menurut pasal 1 UU 1/1979 tentang Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu
Negara kepada Negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau
dipidana karena melakukan suatu tindak pidana di luar wilayah yang menyerahkan
dan di dalam yurisdiksi wilayah Negara yang meminta penyerahan tersebut.
Pengertian ini pada dasarnya sama dengan pengertian yang terdapat dalam Black
Law Dictionary yaitu the surrender by one state or country to
anotherof an individual accused or convicted of an offense outside its own
territory and within the territorial jurisdiction of the other, which, being
competent to try and punish him, demand the surrender. Senada dengan
pengertian tersebut I Wayan Pathiana menegaskan bahwa Ekstradisi adalah
penyerahan secara formal berdasarkan perjanjian, prinsip resirositas/ hubungan
baik antarnegara. Atas seseorang (tersangka, terrtuduh, terdakwa, terpidana)
oleh Negara. Tempat orang tersebut melarikan diri / bersembunyi (Requested
State) kepada Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili hukumnya atas
permintaan dari Negara tersebut (Requesting State) dengan tujuan untuk
diadili atau dilaksanakan hukumnya. Dari pengertian-pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa ekstradisi adalah penyerahan secara formal seseorang baik
dalam status tersangka, terdakwa, atau trepidana dari Negara diminta ke Negara
yang meminta untuk diadili atau dilaksanakan hukumannya. Ekstradisi dapat
dilakukan melalui perjanjian maupun atas dasar hubungan baik kedua Negara.
Ekstradisi
saat ini sudah tidak begitu penting. Menurut Akehurst banyak traktat mengenai
ekstradisi tidak lagi berlaku sejak perang dunia pertama atau kedua dan tidak
diperbarui lagi. Sebab pada saat ini praktek untuk penyerahan orang kepada
Negara lain tidak lagi menggunakan istilah ekstradisi tapi dengan menggunakan
istilah deportasi, meurut Akehurst boleh jadi deportasi merupakan ganti
ekstradisi. Namun, pendapat Akehurts itupun tidak sepenuhnya benar sebab dalam
kedua istilah masih sama sama dipergunakan, bedanya ialah ekstradisi lebih pada
aspek hokum pidana , sementara deportasi lebih menekankan pada aspek politik.
ini sumbernya dari buku mana ya
ReplyDelete