Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara

Hubungan antar negara menyangkut berbagai aspek dalam kehidupan. Termasuk dengan berkembangnya diberbagai bidang kehidupan, namun dalam perkembangannya hampir setiap bidang mempunyai nuansa internasional dan disentuh oleh hukum internasional.
Salah satu pembahasan dalam memaparkan berbagai hubungan yang terjadi di dunia ini adalah hubungan internasional, yaitu dengan mempelajari manusia dan kebudayaan yang berbagai masyarakat diseluruh dunia. Hubungan internasional adalah kunci utama negara atau dasar–dasar negara sebagai dari salah satu bagian dari interaksi negara-negara dalam dunia internasional, dimana negara sebagai aktor utama.
Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”. Pada awalnya Yurisdiksi merupakan konsekuensi logis dari kedaulatan negara atas wilayahnya. Yurisdiksi negara atas individu, benda dan lain-lain dalam batas wilayahnya (teritorial daratan, laut dan udara) pada akhirnya dapat berkembang/meluas melalui batas-batas negara (perluasan atas individu dan benda-benda yang terletak dinegara lain).

Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hokum pengadilan suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan hokum pengadilan suatu Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang terdapat unsur asing di dalamnya.
   A.    Pengertian
“Yurisdiksi” berasal dari bahasa Inggris “Jurisdiction”. “Jurisdiction” sendiri berasal dari bahasa Latin “Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum, dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Jadi, dapat disimpulkan yurisdiksi berarti : kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum, hak menurut hukum, kekuasaan menurut hukum, dan kewenangan menurut hukum. Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”.
Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki jurisdiksi, persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya (Buana, 2007), dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum, par in parem non habet imperium”.
Mengenai pengertian kedaulatan bisa dikatakan sebagai kedaulatan yang ditujukan kedalam wilayah hukum dari Negara yang bersangkutan. Dan kedaulatan tersebut diantaranya direalisasikan  dalam bentuk kewenangan atau kemampuan untuk :
a.       Membentuk hukum
b.      Mendapatkan ketundukan
c.       Dan memutus persoalan yang timbul dalam yurisdiksinya
Menurut Adolf, berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan mengaturnya, yurisdiksi suatu negara di dalam wilayah negaranya dapat terbagi sebagai berikut:
o   Yurisdiksi Legislatif, yaitu kekuasaan membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengatur hubungan atau status hukum orang atau peristiwa-peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga acapkali disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau preskriptif (legislative jurisdiction atau prescriptive jurisdivtion).
o   Yurisdiksi Eksekutif, yaitu kekuasaan negara untuk memaksakan atau menegakkan (enforce) agar subyek hukum menaati hukum. Tindakan pemaksaan ini dilakukan oleh badan eksekutif negara yang umumnya tampak pada bidang-bidang ekonomi, misalnya kekuasaan untuk menolak atau memberi izin, kontrak-kontrak, dan lain-lain.
o   Yurisdiksi Yudikatif, yaitu kekuasaan pengadilan untuk mengadili orang (subyek hukum) yang melanggar peraturan atau perundang-undangan disebut pula sebagai Judicial jurisdiction.

   B.     Yurisdiksi Dalam Hukum Internasional
Dalam praktiknya kata yurisdiksi sering memiliki bebarapa arti seperti di pengadilan Inggris dalam kasus custody of children sering dinyatakan bahwa para pihak dilarang melakukan  “out of the jurisdiction of the court” terhadap anak-anak yang berarti melarang membawa anak-anak keluar dari Inggris. Kata jurisdiction di sini berarti territory. Dalam Piagam PBB sering digunakan istilah domestic jurisdiction yang berarti kewenangan domestik. Meskipun demikian, dalam praktik, kata yurisdiksi paling sering untuk menyatakan kewenangan yang dlaksanakan oleh Negara terhadap orang, benda atau peristiwa. Menurut Wayan Parthiana, kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan Negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila yurisdiksi dikaitkan dengan Negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan Negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enfore) hukum yang dibuat oleh Negara atau bangsa itu sendiri.
Jurisdiksi sebagai sebuah topic dalam monograf monograf hokum internasional di Negara Negara common law . Sementara itu monograf monograf continental mengambil langkah berbeda, dengan menjadikannya sebagai salah satu aspek dalam pembahasan mengenai Negara ataupun wilayah atau yang berkaitan dengan hokum internasional. Sedangkan posisi Indonesia cukup unik walau Indonesia mendapat pengaruh yang kuat dari eropa continental tetapi tidak bisa dikatakan Indonesia sebagai bagian darinya.

   C.    Dasar- dasar Yurisdiksi
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hokum pengadilan suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan hokum pengadilan suatu Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang terdapat unsure asing di dalamnya.
Hokum internasional public tidak banyak membuat aturan atau pembatasan berkaitan dengan kasus-kasus perdata internasional. Hokum internasional public lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hokum internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah :
1.      Teritorial
Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI. Menurut Hakim Loed Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas territorialnya sebagai pertanda Negara  tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan:
Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban sosialnya paling terganggu;
·         Biasanya pelaku ditemukan  Negara dimana kejahatan dilakukan;
·         Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat lebih efisien dan efektif;
·         Seseroang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap menyerahkan diri pada system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di Negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada hokum stempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah (lawful) menurut system HN negaranya sendiri.
Dengan demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah menyimpan dan memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya terhadap orang tersebut.
Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi territorial tidaklah absolute. Ada beberapa perkecualian yang diatur dalam HI dimana Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi territorialnya, meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a)      Terhadap pejabat diplomatic negara asing
b)      Terhadap negara dan kepala negara asing
c)      Terhadap  kapal public negara asing
d)     Terhadap organisasi internasional
e)      Terhadap pangkalan militer negara asing

2.      The Effect Doctrine
Konsep ini telah dikembangkan oleh beberapa Negara terutama Amerika Serikat (AS). AS dalam kasus alcoa menklaim memiliki jurisdiksi atas tindakan dari sebuah perusahaan asing yang merupakan anggota dari kartel. Aktivitas kartel itu ditujukan untuk mempengaruhi impor  dan ekspor terhadap AS, yang kemudian tuduhan ini terbukti, yang paling signifikan dalam putusan ini adalah tidak menekankan pada tindakan yang bersifat fisik tapi tindakan yang bersifat intensional terhadap situasi upaya untuk menerapkan hokum dari suatu Negara di wilayah Negara lain.

3.      Kebangsaan
Prinsip Kebangsaan adalah prinsip didasarkan pada kekuasaan negaranya atas warga negaranya.  setiap warga negara dimanapun ia berada, tetap mendapatkan perlakuan hukum dari negaranya. Maka prinsip ini mempunyai kekuatan Ekstrateritorial yang berarti bahwa hukum dari negara tersebut tetap berlaku juga bagi warga negaranya yang berada di negara lain. Prinsip ini memiliki sifat yang terbuka namun harus memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan oleh suatu negara tersebut.
Secara umum persoalan yang terkait dengan kebangsaan didasarkan pada hubungan terhadap Negara yang bersangkutan. Keterkaitan tersebut bisa disebabkan karena dilahirkan diwilayah Negara tersebut ( jus soli) atau bisa diesebabkan karena keturunan atau orang tuanya warga Negara dari Negara tersebut (jus sanguinis). Disamping itu, hukum nasional membedakan antara anak yang dilahirkan tanpa bapak dan dengan bapak. Dalam hal yang tidak punya bapak pada umumnya mengikuti kewargaan bapaknya

4.      Nasionalitas Pasif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan prinsip ini maka Indonesia akan memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip (Warga Filipina) yang membunuh Soni (Warga Indonesia) di Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989, Amerika mengadili Yunis, warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan pesawat Yordania di Timur Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa warga AS yang ada dalam pesawat Yordania itu menjadi korban perbuatan Yunis.

5.      Prinsip Protektif
Berdasarkan  prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan yang sangat serius yang mengancam kepentingan vital Negara, keamanan, integritas dan kedaulatan, serta kepentingan vital ekonomi Negara,  Atau biasa juga disebut sebagai yurisdiksi yang timbul berdasarkan adanya kepentingan keamanan sebuah Negara.
Dalam banyak sistem hukum mengakui bahwa negara-negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang asing, diluar wilayahnya, yang mengancam keamanan negara tersebut atau mengancam jalannya pemerintahan negara tersebut.
Contoh dari pelaksanaan prinsip ini adalah, kasus United States v. Archer (1943) yang diputuskan bahwa hukum Amerika dapat menghukum warga negara asing yang melakukan perjury terhadap diplomat Amerika di luar negeri.
Contoh lain, Israel di tahun 1972 membuat peraturan perundangan yang memberikan yurisdiksi kepada pengadilan Israel untuk mengadili setiap orang yang melakukan kejahatan di luar negeri yang mengancam keamanan, ekonomi, transportasi atau komunikasi dari negara Israel.
6.      Prinsip Universal
Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Alas an munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.
Yurisdiksi universal dalam hokum internasional bertujuan untuk memproses fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious international crime tanpa di bawah hokum internasional yang menikmati impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang diinginkannya setelah ia melakukan serious international crime tanpa bisa dimintai pertanggungjawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi.
Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa cirri menonjol sebagai berikut:
Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase “setiap negara” mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung jawab untuk turut serta secara aktif  menyelamatkan masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk melindungi pelaku dengan memberikan safe heaven dalam wilayah negaranya.
Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan dimana serious crime dilakukan. Dengan kata lain dapat dikatakan tidak diperlukan titik pertautan antara Negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya pertimbangan yang diperlukan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau tidak? Tidak mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal bia pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran hokum internasional bila Negara memaksa menangkap seseorang yang berada di wilayah Negara lain.
Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap pelaku serious crime atau yang lazim disebut internastional crime.
Berdasarkan karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi untuk mengisi kekosongan hokum dalam pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-tindak pidana internasional. Hakikat yurisdiksi universal berbeda dengan yurisdiksi yang lain karena tidak memerlukan titik pertautan antara Negara yang melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban, dan tindak pidana itu sendiri. Kekosongan hokum dapat diatasi dengan diberikannya wewenang oleh hokum internasional kepada setiap Negara untuk melaksanakan yurisdiksi universal.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, selama ini yurisdiksi universal hanya dapat diterapkan dalam kasus-kasus international crime menurut hakim Supreme Court Amerika Serikat dalam Hostage Case adalah : “an international crime is such an act universally recognized as criminal, which is considered as agrave matter of international concern and for some valid reason cannot be left within the state that would have control over it under normal circumatances”
Dengan demikian, untuk menjadi international crime harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
·         Perbuatan itu diakui universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam semua system hokum pidana di semua Negara. Semua Negara mengutuk (condemn) perbuatan itu dan menentukan hukumannya yang layak.
·         Tindak pidana itu harus memenuhi criteria tertentu sebagai international crime, yaitu bahwa pelakunya merupakan musuh umat manusia dan tindakannya bertentangan dengan kepentingan umat manusia sehingga penegakan hokum internasionalnya harus dilakukan, dengan melalui hokum kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional, dengan menghukum pelakunya.
·         Arena sifatnya yang sangat membahayakan masyarakat internasional maka sangat beralasan untuk tidak hanya memberikan yurisdiksi pada suatu Negara saja yang jika dalam keadaan normal memang berhak untuk melaksanakannya.
Hukum internasional klasik menyebutkan kejahatan perang (war crime) dan piracy sebagai kejahatan internasional yang kepadanya dapat diterapkan yurisdiksi universal. Pasal 404 Restatement (Third) of the Foreign Relations Law of United States menyebutkan yurisdiksi universal diberlakukan terhadap piracy, perdagangan budak, attack or hijacking of aircraft, genocide, war crimes dan terrorism. ICTY memasukkan pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran hokum atau kebiasaan perang, genocide, dan kejahatan kemanusiaan sebagai kejahatan internasional yang memerlukan yurisdiksi universal. Yurisdiksi ICTR mencakup genocide, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran pasal 3 bersama Konvensi Geneva dan Protokol Tambahan II 1977. Adapun Statuta ICC menyebutkan genocide, war crime, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi sebagai yurisdiksinya.

7.      Treaty-Based Extensions Of Jurisdiction
Jurisdiksi ini diperoleh suatu Negara melalui ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian internasional. Pada umumnya perjanjian seperti ini memiliki kesamaan. Sebagai contoh adalh pasal 1 dari the 1971 Montreal Convention for the Suppression of unlawful Acts against the safety of Civil Aviation menyatakan bahwa seseorang melakukan kekerasan terhadap orang lain didalam pesawat terbang dan dapat membahayakan pesawat tersebut.
Dalam model ini tidak mempersoalkan kewarganegaraan dari si pelaku atau tempat dimana kejahatan tersebut dilaksanakan. Akan tetapi hal ini mencerminkan provisi aut dedere, aut iudicare, yang memberikan kewajiban bagi suatu Negara untuk mengekstradisi si pelaku dengan tujuan supaya mendapatkan hukuman atau Negara tersebut menuntut sendiri pelaku tersebut. Bisa dikatakan tujuan dari prinsip ini adalah untuk mencegah si pelaku kejahatan dari hukuman atau bisa juga dikatakan sebagai jurisdiksi universal antara Negara Negara peserta.
.
   D.    Ekstradisi
Pemerintah Indonesia telah memiliki “undang-undang payung” (umbrella act) untuk ekstradisi dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan untuk kerja sama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan asset, dengan Undang-undang No 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual assistance in criminal matters). Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerja sama penegakan hokum tersebut adalah, bahwa  perjanjian ekstradisi untuk tujuan penyerahan orang (pelaku kejahatan), sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk pengusutan, penyitaan dan pengembalian asset hasil kejahatan. Permintaan penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan pengembalian asset hasil kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan yang bersangkutan. Kedua bentuk perjanjian tersebut harus saling melengkapi dan bukan dilihat secara terpisah. Hal ini berarti permintaan ekstradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan yang bersangkutan.
Ekstradisi menurut pasal 1 UU 1/1979 tentang Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu Negara kepada Negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana di luar wilayah yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah Negara yang meminta penyerahan tersebut. Pengertian ini pada dasarnya sama dengan pengertian yang terdapat dalam Black Law Dictionary yaitu the surrender by one state or country to anotherof an individual accused or convicted of an offense outside its own territory and within the territorial jurisdiction of the other, which, being competent to try and punish him, demand the surrender. Senada dengan pengertian tersebut I Wayan Pathiana menegaskan bahwa Ekstradisi adalah penyerahan secara formal berdasarkan perjanjian, prinsip resirositas/ hubungan baik antarnegara. Atas seseorang (tersangka, terrtuduh, terdakwa, terpidana) oleh Negara. Tempat orang tersebut melarikan diri / bersembunyi (Requested State) kepada Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili hukumnya atas permintaan dari Negara tersebut (Requesting State) dengan tujuan untuk diadili atau dilaksanakan hukumnya. Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ekstradisi adalah penyerahan secara formal seseorang baik dalam status tersangka, terdakwa, atau trepidana dari Negara diminta ke Negara yang meminta untuk diadili atau dilaksanakan hukumannya. Ekstradisi dapat dilakukan melalui perjanjian maupun atas dasar hubungan baik kedua Negara.
Ekstradisi saat ini sudah tidak begitu penting. Menurut Akehurst banyak traktat mengenai ekstradisi tidak lagi berlaku sejak perang dunia pertama atau kedua dan tidak diperbarui lagi. Sebab pada saat ini praktek untuk penyerahan orang kepada Negara lain tidak lagi menggunakan istilah ekstradisi tapi dengan menggunakan istilah deportasi, meurut Akehurst boleh jadi deportasi merupakan ganti ekstradisi. Namun, pendapat Akehurts itupun tidak sepenuhnya benar sebab dalam kedua istilah masih sama sama dipergunakan, bedanya ialah ekstradisi lebih pada aspek hokum pidana , sementara deportasi lebih menekankan pada aspek politik.

1 Komentar Untuk "Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara"