Salah
satu kajian atau cabang ilmu dari ilmu hukum adalah Hukum Internasional (international
law). Dewasa ini Hukum Internasional telah mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Ilmu Hukum sendiri pada dasarnya juga telah mengalami perkembangan yang
sangat pesat, hal ini ditandai dengan semakin banyak dan berkembangnya
aliran-aliran dalam Ilmu Hukum, mulai dari aliran hokum alam sampai aliran
postmodern termasuk critical legal studies di dalamnya.
Pada awalnya Hukum Internasional hanya
diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan
pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian
meluas sehingga hokum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku
organisasi internasional dan, pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan
individu. Hukum Internasional, dalam sejarahnya telah hamper berumur 4 abad, namun
akar-akarnya telah terdapat semenjak zaman Yunani Kuno dan zaman Romawi. Di
zaman Yunani Kuno ahli-ahli pikir seperti Aristoteles, Socrates dan Plato telah
mengemukakan gagasan-gagasan mengenai wilayah, masyarakat dan individu. Lebih
dari 2000 tahun yang lalu city states di Yunani walaupun didiami oleh bangsa
dengan bahasa yang sama, hubungan mereka telah diatur oleh ketentuan-ketentuan
yang kemudian bernama
Hukum
Internasional. Ketentuan-ketentuan tersebut menyangkut pengaturan pengaturan perang
dan penghormatan terhadap utusan-utusan negara. Namun, pada waktu itu
ketentuan-ketentuan tersebut belum lagi didasarkan atas prinsip hukum yang
mengikat,tetapi atas percampuran moral, agama dan hukum.2 Sedikit berbeda
dengan zaman Yunani Kuno, pada zaman Romawi hubungan internasional sudah
mengarah kepada hal yang sebenarnya, kerajaan Romawi sudah membuat bermacam-macam
perjanjian (seperti perjanjian perdamaian, persahabatan dan persekutuan) dengan
negara lain. Konsep hubungan diplomatik (hukum diplomatic salahsatu kajian
dalam Hukum Internasional) juga berkembang dari “tanah Romawi”. Pada Abad ke-15
dan 16 city-states di Italia seperti Venice, Genoa dam Florence mengembangkan praktek
pengiriman duta-duta besar residen ke ibukota masing-masing.
Sejarah
merupakan salah satu metode bagi pembuktian akan eksistensi dari dari sebuah
norma hukum. Secara kronologis urutan perkembangan waktu yang mencerminkan
perkembangan hukum internasional sampai saat ini oleh John O’Brien dibagi dalam
Sembilan phase: (i) periode sampai tahun 1500; (ii) abad 16; (iii) abad 17;
(iv) abad 18; (v) periode 1800-1914; (vi) pendirian Liga Bangsa-Bangsa (LBB);
(vii) periode inter-war years (1919- 39); (viii) pembentukan sistem PBB; (ix)
mulainya sistem baru sejak 1945.1
Dalam
beberapa literatur lain juga disebutkan beberapa versi perkembangan Hukum
Internasional, tampak berlainan tetapi sebenarnya saling melengkapi. Dalam buku
yang ditulis oleh Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar disebutkan bahwa
perkembangan Hukum Internasional melalui beberapa masa/periode yang
masing-masing memiliki kontribusi.
A. Hukum Internasional Klasik
1.
India Kuno
Dalam
kebudayaaan India kuno terdapat kaidah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan
antara kasta, suku bangsa dan raja-raja. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang
mengatur hubungan antar raja, yang disebut Desa Dharma. Gautama Sutera dan
undang-undang Manu memuat tentang hukum kerajaan. Hukum yang mengatur hubungan
antar raja-raja pada masa itu tidak dapat dikatakan sebagai hukum
internasional, karena belum ada pemisahan dengan agama, soal-soal
kemasyarakatan dan negara. Namun tulisan-tulisan pada waktu itu sudah ada
menunjukkan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara raja atau
kerajaan, seperti ketentuan yang mengatur kedudukan utusan raja dan hak
istimewa utusan raja, perjanjian dengan kerajaan lain, serta ketentuan perang
dan cara berperang (Kusumaatmaja, Mochtar dan Etty R. Agoes; op. cit.: 26)
2.
Cina Kuno
Cina
memperkenalkan nilai-nilai etika dalam proses pembelajaran untuk
kelompok-kelompok berkuasa. Pembentukan sistim kekuasaan negara yang bersifat
regional tributary state. Pembentukan perserikatan negara-negara Tiongkok yang
dicanangkan oleh Kong Hu Cu.
3.
Yunani Kuno
Menurut
Vinoggradoff, pada masa itu telah ada hukum intermunicipal, yaitu kaidah-kaidah
kebiasaan yang berlaku dalam hubungan antar negara-negara kota, seperti
ketentuan mengenai utusan, pernyataan perang, perbudakan tawanan perang.
Kaidah-kaidah intermunicipal juga diterapkan bagi masyarakat tetangga dari
negara kota. Namun kaidah intermunicipal sangat dipengrauhi oleh pengaruh
agama, sehingga tidak ada pemisahan yang tegas antara hukum. Moral, keadilan,
dan agama. (Starke, J.G.; op. cit: 9) Pembedaan golongan penduduk Yunani
menjadi 2 (dua) yaitu : orang Yunani dan orang bukan Yunani (Barbar). Pada masa
itu juga, telah dikenal ketentuan perwasitan dan wakil-wakil dagang (konsul).
Sumbangan yang terpenting bagi hukum internasional adalah konsep hukum
4.
Romawi Kuno
Pada
masa Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan tidak mengalami
perkembangan karena masyarakat bangsa-bangsa adalah satu imperium, yaitu Imperium
Romawi. Sumbangan utama bangsa Romawi bagi perkembangan hukum pada umumnya dan
sedikit sekali bagi perkembangan hukum internasional. Pada masa Romawi ini
diadakan pembedaan antara Ius Naturale dan Ius Gentium. Ius Gentium (hukum
masyarakat) menunjukkan hukum yang merupakan sub dari hukum alam (Ius
Naturale). Pengertian Ius Gentium hanya dapat di kaitkan dengan dunia manusia
sedangkan Ius naturale (hukum alam) meliputi seluruh penomena alam. Sumbangan
bangsa Romawi terhadap hukum pada umumnya yaitu dengan adanya the Corpus Juris
Civilis, pada masa Kaisar Justinianus. Konsep-konsep dan asas-asas hukum
perdata yang kemudian diterima dalam hukum internasional seperti occupation,
servitut, bona fides, pacta sunt servanda, Pada masa kekuasaan Romawi, hukum internasional
tidak mengalami perkembangan Hal ini disebabkan karena adanya Imperium Romawi
Suci (Holly Roman Empire), yang tidak memungkinkan timbulnya suatu bangsa
merdeka yang berdiri sendiri, serta adanya struktur masyarakat eropa barat yang
bersifat feodal, yang melekat pada hierarki otoritas yang menghambat munculnya
negara-negara merdeka, oleh karenanya tidak diperlukan hukum yang mengatur
hubungan antar bangsa-bangsa. (Ibid: 8-9).
B. Masa Abad Pertengahan
1.
Hukum Internasional Pada Abad ke 15 dan 16
Pada
masa abad pertengahan atau biasa disebut sebagai the Dark Age (masa kegelapan),
hukum alam mengalami kemajuan kembali melalui transformasi di bawah gereja.
Peran keagamaan mendominasi sektor-sektor sekuler. Sistim kemasyarakatan di
Eropa pada waktu itu terdiri dari beberapa negara yang berdaulat yang bersifat
feodal dan Tahta Suci. Pada masa itu muncullah konsep perang adil sesuai dengan
ajaran kristen, yang bertujuan untuk melakukan tindakan yang tidak bertentangan
dengan ajaran gereja.
Selain itu, beberapa hasil karya ahli hukum memuat
mengenai persoalan peperangan, seperti Bartolo yang menulis tentang tindakan
balas yang seimbang (reprisal), Honore de Bonet menghasilkan karya The Tree of
Battles tahun 1380. (Tontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar; op. cit: 34).
Meskipun pada abad pertengahan hukum internasional tidak mengalami perkembangan
yang berarti, sebagai akibat besarnya pengaruh ajaran gereja, tetapi
negara-negara yang berada di luar jangkuan gereja seperti di Inggris, Perancis,
Venesia, Swedia, Portugal, benih-benih perkembangan hukum internasional mulai
bermunculan. Traktat-traktat yang dibuat oleh negara lebih bersifat mengatur
peperangan, perdamaian, gencatan senjata dan persekutuan-persekutuan. Melemahnya
kekuasaan gereja yang ditandai dengan upaya sekulerisasi, seperti yang
dilakukan oleh Martin Luther sebagai tokoh reformis gereja, dan seiring dengan
mulai terbentuknya negara-negara moderen. Misalnya, Jean Bodin dalam Buku Six
Livers De la Republique 1576, mengemukakan bahwa kedaulatan atau kekuasaan bagi
pembentukan hukum merupakan hak mutlak bagi lahirnya entitas suatu negara. Pada
akhir abad pertengahan ini, hukum internasional digunakan dalam isu-isu
politik, pertahanan dan militer. Hukum mengenai pengambilalihan wilayah
berkaitan dengan eksplorasi Eropa terhadap benua Afrika dan Amerika. Beberapa
ahli hukum seperti, Fransisco De Vittoria yang memberikan kuliah di Universitas
Salamanca Spanyol bertujuan untuk justifikasi praktek penaklukan Spanyol. Ia
menulis buku Relectio de Indies, yang menjelaskan hubungan bangsa Spantol dan
Portugis dengan bangsa Indian di benua Amerika, Di dalam buku itu juga
dikemukakan bahwa negara tidak dapat bertindak sekehendak hatinya, dan ius
inter gentes (hukum bangsa-bangsa) diberlakukan bukan saja bagi bangsa Eropa
tetapi juga bagi semua umat manusia. Alberico Gentili, dengan hasil karyanya De
Jure Belli Libri Tres tahun 1598. Hasil pemikirannya lainnya adalah studi
tentang hukum perang, doktrin perang adil, pembentukan traktat, hak-hak budak
dan kebebasan di laut (Ibid: 35-36). Pada abad ke l5 dan 16, telah terjadi
penemuan dunia baru, masa pencerahan ilmu dan reformasi yang merupakan revolusi
keagamaan yang telah memporakporandakan belenggu kesatuan politik dan rohani di
Eropa dan menguncangkan fundamen-fundamen umat Kristen pada abad pertengahan.
Para ahli hukum pada abad tersebut telah mulai memperhitungkan evolusi suatu
masyarakat negara-negara merdeka dan memikirkan serta menulis tentang berbagai
macam persoalan hukum bangsa-bangsa. Mereka menyadari perlunya serangkaian
kaidah untuk mengatur hubungan antar negara-negara tersebut. Andai kata tidak
terdapat kaidah-kaidah kebiasaan yang tetap maka para ahli hukum wajib
menemukan dan membuat prinsip-prinsip yang berlaku berdasarkan nalar dan
analogi. Mereka mengambil prinsip-prinsip hukum Romawi untuk dijadikan pokok
bahasan studi di Eropa. Mereka juga menjelaskan preseden-preseden sejarah kuno,
hukum kanonik, konsep semi teologis dan serta hukum alam. (Starke, J.G. ;op.
cit.: 11) Diantara penulis-penulis pelopor itu antara lain adalah Hugo De Groot
atau Grotius, Vittoria (1480-1546), Belli (1502-1575), Brunus (1491-1563),
Fernando Vasgues de Menchaca (1512-1569), dan Ayala (1548-1617).
Tulisan-tulisan para ahli hukum ini yang terpenting adalah pengungkapan bahwa
satu pokok perhatian hukum internasional pada abad ke-16 adalah hukum perang
antar negara, dan dalam kaitan eropa telah mulai menggunakan tentara tetap,
suatu praktek yang tentunya menyebabkan berkembang adat-istiadat dan
praktek-praktek peperangan yang seragam. Francisco Suares (1548-1617), yang
menulis buku De Legibus ae Deo Legislatore (on Laws and Good as Legislator)
yang mengemukakan adanya suatu hukum atau kaidah objektif yang harus diikuti
oleh negara-negara dalam hubungan antar mereka. Ia juga meletakkan dasar suatu
ajaran hukum internasional yang meliputi seluruh umat manusia.dan gentilis.
Hugo De Groot atau Grotius (1583-1645), orang yang paling berpengaruh atas
keadaan hukum internasional moderen dan dianggap sebagai Bapak Hukum
Internasional. . Karyanya yang terkenal adalah buku on the law of war and peace
(de jure Belli ac Pacis) tahun 1625. Hasil karyanya itu menjadi karya acuan
bagi para penulis selanjutnya serta mempunyai otoritas dalam keputusan-keputusan
pengadilan . Sumbangan pemikirannya bagi perkembangan hukum internasional
adalah pembedaan antara hukum alam dengan hukum bangsa-bangsa. Hukum
bangsa-bangsa berdiri sendiri terlepas dari hukum alam, dan mendapatkan
kekuatan mengikatnya dari kehendak negara-negara itu sendiri. Beberapa doktrin
Grotius bagi perkembangan hukum internasional moderen adalah pembedaan antara
perang adil dan tidak adil, pengakuan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan
individu, netralitas terbatas, gagasan tentang perdamaian,
konferensi-konferensi periodik antara pengusa-penguasa negara serta kebebasan
di laut yang termuat dalam buku Mare Liberium tahun 1609. Samuel Pufendorf
(1632-1694) dalam buku De Jure Nature Et Gentium menyatakan bahwa hukum
internasional dibentuk atas dasar hak-hak alamiah universal dan perang sebagai
alat hanya dapat disahkan melalui syarat-syarat yang ketat. Zouche (1590-1660),
penganut aliran positivisme, lebih memberikan perhatian pada hukum
internasional dalam keadaan damai dari pada hukum perang. (Tontowi, Jawahir dan
Pranoto Iskandar; op. cit: 39).
C.
Hukum Internasional Islam
Ditinjau
dari aspek sejarah, Islam memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan
Hukum Internasional, tidak saja pada tataran teoritis belaka tetapi juga dalam
dimensi praktis hubungan antara negara-negara Islam termasuk organisasinya dengan
negara-negara Barat lainnya. Hukum Internasional modern tidak murni sebagai hukum
yang secara eksklusif warisan dari Eropa, peradaban Islam memberikan pengaruh juga
terhadap perkembangan sistem Hukum Internasional. Sejarahwan Eropa yang menyatakan
hal ini antara lain Marcel Boissard dan Theodor Landschdeit.
Dr.M.Abu
Zahrah mengemukakan sepuluh prinsip dasar tentang kelangsungan hubungan internasional
dalam teori dan praktek kaum Muslimin di masa lalu, yaitu:
(1)
Islam menempatkan kehormatan dan martabat manusia sebagai makhluk terhormat, ia
sebagai Khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi.
(2)
manusia sebagai umat yang satu dan disatukan, bukan saja oleh proses teori
evolusi historis dari satu keturunan Nabi Adam, melainkan juga oleh sifat
kemanusiaan yang universal.
(3)
prinsip kerjasama kemanusiaan (ta’awun insani) dengan menjunjung tinggi
kebenaran dan keadilan.
(4)
prinsip toleransi (tashomah) dan tidak merendahkan pihak lain.
(5)
adanya kemerdekaan (harriyah), kemerdekaan menjadi sangat penting sebab
merupakan akar pertumbuhan dan kesempurnaan manusia.
(6)
akhlak yang mulia dan keadilan.
(7)
perlakuan yang sama dan anti diskriminasi.
(8)
pemenuhan atas janji.
(9)
Islam menyeru pada perdamaian, karena itu mematuhi kesepakatan merupakan
kewajiban hukum dan agama.
(10)
prinsip kasih sayang dan mencegah kerusakan.
Selain
itu, kontribusi Islam terhadap perkembangan Hukum Internasional dapat dilihat pada
konsepsi siyar yang merupakan cabang dari shari’ah. Pemahaman siyar dapat dilihat
pada hubungan antara negara-negara Muslim dan non-Muslim dan sesama Negara Muslim.
Selain itu konsepsi siyar dapat juga dilihat dalam sikap netralitas dari satu
Negara Islam terhadap dua negara yang sedang bertikai. Siyar ini memiliki
sumber-sumber tambahan selain sumber-sumber utama (Al-Quran dan As-Sunnah),
sumber tambahan (subsidiary sources) tersebut adalah praktek-praktek Empat
Khalifah pertama yang diklaim oleh ahli-ahli Hukum Islam dapat melengkapi
Al-Quran, selain itu sumber tambahan ini dapat berupa pendapat-pendapat sarjana
Hukum Islam, putusan Arbitrase, hukum nasional yang terkait dengan materi
siyar, deklarasi unilateral yang terkait dengan siyar, dan kebiasaan. Jika
diperhatikan konstruksi sumber-sumber hukum tersebut terdapat kemiripan dengan
sumber-sumber hukum yang didaftar dalam Statuta ICJ.
D. Hukum Internasional Moderen
Pada
abad ke 17 dan 18 Hukum bangsa-bangsa mempunyai nama baru sebagai hukum
internasionl, oleh Jeremy Bentham. (Ibid:34). Pengertian baru ini berpengaruh
pada isi hukum internasional itu sendiri, yaitu adanya pemisahan antara
persoalan domestik dengan internasional. Pembedaan ini sebagai akibat munculnya
konsep kedaulatan dari perjanjian the Peace of Westphalia yang ditujukan untuk
mengakhiri perang antar kelompok antar agama yang berlangsung lebih dari 30
tahun di Eropa.(Ibid: 40). Menurut Mochtar Kusumaatmaja, perdamaian Westphalia
dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum internasional moderen
dan meletakkan dasar-dasar masyarakat moderen. Bentuk negara-negara tidak lagi
berdasarkan kerajaan tetapi didasarkan atas negara-negara nasional, serta
adanya pemisahan antara gereja dengan urusan pemerintahan. Dasar-dasar
perjanjan Westphalia kemudian diperkuat lagi dengan adanya perjanjian Utrecht,
yaitu dengan menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik
internasional (Kusumaatmaja, Mochtar dan Etty R. Agoes; op. cit.: 30,32).
Ada
kecendrungan dari para ahli hukum untuk lebih mengemukakan kaidah-kaidah hukum
internasional terutama dalam bentuk traktat dan kebiasaan dan mengurangi
sedikit mungkin hukum alam sebagai sumber dari prinsip-prinsip tersebut.
(Starke, J.G. ;op. Cit.: 13). Para penulis terkemuka pada abad ke 17 dan 18
antara lain : Cornelis Van Bynkershoek (1673-1743), yang mengemukakan
pentingnya actual practice dari negara-negara dari pada hukum alam. Sumbangan
pemikiran lainnya teori tentang hak dan kewajiban dari negara netral. Christian
Wolf (1632-1694), mengemukakan teori mengenai Civitas Maxima yang sebagai
negara dunia meliputi negara-negara dunia. Von Martens (1714-1767), dalam
Receuil des Traites yaitu suatu kumpulan perjanjian yang masih merupakan suatu
kumpulan berharga hingga sekarang. Emmerich De Vattel (1714-1767)
memperkenalkan prinsip persamaan antar negara-negara. C.2. Pada abad ke 19
Hukum internasional berkembang lebih jauh lagi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi perkembangan ini adalah adanya kebangkitan negara-negara baru,
baik di dalam maupun di luar benua Eropa, Moderenisasi sarana angkutan dunia,
penemuan-penemuan baru, terutama di bidang persenjataan militer untuk perang.
Kesemuanya itu menimbulkan kebutuhan akan adanya sistem hukum internasional
yang bersifat tegas untuk mengatur hubungan-hubungan internasional tersebut.
Pada abad ini juga mengalami perkembangan kaidah-kaidah tentang perang dan
netralitas, serta meningkatnya penyelesaian perkara-perkara internasional
melalui lembaga Arbitrase internasional. Praktek negara-negara juga mulai terbiasa
dengan pembuatan traktat-traktat untuk mengatur hubungan-hubungan antar negara.
Hasil karya para ahli hukum, lebih memusatkan perhatian pada praktek yang
berlaku dan menyampingkan konsep hukum alam, meskipun tidak meninggalkan pada
reason dan justice, terutama apabila sesuatu hal tidak diatur oleh traktat atau
kebiasaan. . (Ibid: 8) Para ahli hukum yang terkemuka pada masa ini antara lain
: Henry Wheaton, menulis buku Elements of International Law; De Martens,
menulis buku yang semata-mata didasarkan atas praktek negara-negara tidak
menurut hukum alam; Kent, Kluber, Philimore, Calvo, Fiore, Hall. Berdirinya
organiasi internasional yang menampung para ahli hukum internasional adalam
wadah the Law International Association dan Institut De Droit International.
Hukum internasional juga menjadi objek studi dalam skala yang luas dan
memungkinkan penaganan persoalan internasional secara lebih profesional. C.3.
Abad ke 20 dan Dewasa ini Hukum internasional mengalami perkembangan yang cukup
penting Pada abad ini mulai dibentuk Permanent of Court Arbitration pada
Konferensi Hague 1899 dan 1907. Pembentukan Permanent Court of International
Justice sebagai pengadilan yudicial internasional pada tahun 1921, pengadilan
ini kemudian digantikan oleh International Court of Justice tahun 1948 hingga
sekarang. Terbentuk juga organisasi internasional yang fungsinya menyerupai
pemerintahan dunia untuk tujuan perdamaian dan kesejahteraan umat manusia,
seperti Liga Bangsa Bangsa, yang kemudian digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Adanya perluasan ruang lingkup traktat multiulateral tidak saja dibidang sosial
ekonomi tetapi juga mencakup perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebesasan
fundamental individu. Para ahli hukum internasional lebih memusatkan perhatian
pada praktek-praktek dan putusan-putusan pengadilan. (Ibid: 14-15) Sejalan
dengan perkembangan dalam masyarakat moderen, maka hukum internasional dituntut
agar dapat mengatur mengenai energi nuklir dan termonuklir, perdagangan
internasional. Pengangkutan internasional melalui laut, pengaturan ruang
angkasa di luar atmosfir dan di ruang kosmos, pengawasan lingkungan hidup,
menetapkan rezim baru untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber daya alam
di dasar laut di luar batas-batas teritorial, sistim jaringan informasi dan
pengamana data-data komputer serta terorisme internasional. (Ibid: 16) Beberapa
persoalan hukum internasional yang kerap kali timbul dalam hubungan
internasional antara lain adalah klaim ganti kerugian yang menimpa warga negara
suatu negara di negara lain, penerimaan dan pengusiran warga asing oleh suatu
negara, persoalan nasionalitas, pemberlakuan extrateritorial beberapa
perundangan nasional, penafsiran perjanjian internasional, serta pemberlakuan
suatu perjanjian yang rumit diberlakukan sebagian besar negara di bidang
perdagangan, keuangan, pengangkutan, penerbangan, energi nuklir. Pelanggran
hukum internasional yang berakibat perang, perlucutan senjata dan perdagangan
senjata ilegal. (Ibid: 18). Berbagai persoalan di atas menunjukkan bahwa hukum internasional
tetap diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dalam hubungan
internasional Hukum iunternasional diharapkan dapat mengatur dan memberikan
penyelesaian hukum yang tepat dan adil sehingga dapat diakui dan diterima oleh
negara-negara atau pihak-pihak yang bertikai, tidak bertentangan dengan
perundangan nasional suatu negara, dalam suatu tatanan sistim hukum
internasional yang bersifat global.
mohon maaf, itu sumbernya dari mana ya?
ReplyDelete