Beberapa sosiolog berpendapat bahwa ada kondisi-kondisi sosial primer
yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Kondisi yang dimaksud antara
lain: kondisi ekonomis, teknologis, geografis, dan biologis. Kondisi tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan perubahan pada aspek kehidupan sosial lainnya.
Beberapa teori yang menjelaskan sebab-sebab terjadinya perubahan sosial
antaralain sebagai berikut.
a. Teori Evolusi (Evolutionary Theory)
Teori ini berpijak pada teori evolusi Darwin dan dipengaruhi oleh
pemikiran Herbert Spencer. Tokoh yang berpengaruh pada teori ini adalah Emile
Durkheim dan Ferdinand Tonnies.
Emite Durkheim (1858-1917) berpendapat bahwa perubahan karena evolusi
memengaruhi cara pengorganisasian masyarakat, terutama yang berhubungan dengan
kerja.
Ferdinand Tonnies (1963) memandang bahwa masyarakat berubah dan
masyarakat sederhana yang mempunyai hubungan yang erat dan kooperatif menjadi
tipe masyarakat besar yang memiliki hubungan yang terspesialisasi dan
impersonal. Tonnies tidak yakin bahwa perubahan-perubahan tersebut selalu
membawa kemajuan. Bahkan, dia melihat adanya fragmentasi sosial (perpecahan
dalam masyarakat), individu menjadi terasing, dan lemahnya ikatan sosial
sebagai akibat langsung dan perubahan sosial budaya ke arah individualisasi dan
pencarian kekuasaan.
Gejala itu tampak jelas pada masyarakat perkotaan. Teori evolusi. ini
masih belum memuaskan banyak pihak. Alasannya, teori ini tidak mampu
menjelaskan jawaban terhadap pertanyaan mengapa masyarakat berubah. Teori ini
hanya menjelaskan bagaimana proses perubahan terjadi.
b. Teori Konflik (Conflict Theory)
Menurut teori ini, konflik berasal dan pertentangan kelas antara kelompok
tertindas dan kelompok penguasa sehingga akan mengarah pada perubahan sosial.
Teori ini berpedoman pada pemikiran Karl Marx (1968) yang menyebutka bahwa
konflik kelas sosial merupakan sumber yang paling penting dan erpengaruh dalam
semua perubahan sosial.
Raif Dahrendorf (1976) berpendapat bahwa semua perubahan sosial merupakan
hasil dan konflik kelas di masyarakat. Ia yakin bahwa konflik dan pertentangan
selalu ada dalam setiap bagian masyarakat. Menurut pandangannya, prinsip dasar
teori konflik, yaitu konflik sosial dan perubahan sosial, selalu melekat dalam
struktur masyarakat.
c. Teori Fungsionalis (Functionalist Theory)
Teori fungsionalis berusaha melacak penyebab perubahan sosial hingga
ketidakpuasan masyarakat akan kondisi sosialnya yang secara pribadi mempengarui
mereka. Teori ini berhasil menjelaskan perubahan sosial yang tingkatnya
moderat.
Konsep kesenjangan budaya (cultural lag) dan William Ogburn (1964)
berusaha menjelaskan perubahan sosial dalam kerangka fungsionalis ini.
Menurutnya, meskipun unsur-unsur masyarakat saling berhubungan, beberapa
unsumya bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur lainnya tidak
secepat itu sehingga tertinggaldi belakang. Ketertinggalan itu menjadikan
kesenjangan antara unsur yang berubah sangat cepat dan yang berubah lambat.
Kesenjangan ini akan menyebabkan adanya kejutan sosial pada masyarakat.
Ogburn menyebutkan bahwa perubahan benda-benda budaya fisik lebih cepat
daripada perubahan dalam sistem dan struktur sosial. Oleh karena itu, dia
berpendapat bahwa perubahan seringkali menghasilkan kejutan sosial yang pada
gilirannya akan memuncul kan pola-pola perilaku yang baru, meskipun terjadi
konflik dengan nilai-nilai tradisional. Contoh: Ketika alat-alat kontrasepsi
pertama kali diluncurkan untuk mengendalikan jumlah penduduk dalam program
Keluarga Berencana (KB), banyak pihak menentang karena dianggap tidak sesuai
dengan nilai-nilai agama serta norma yang berlaku di masyarakat pada waktu itu.
Namun, lambat laun, masyarakat mulai menerima dan menerapkan kehadiran
teknologi baru tersebut karena bermanfaat untuk mengendalikan pertumbuhan
penduduk.
d. Teori Siklus (Cyclical Theory)
Teori ini beranggapan bahwa perubahan sosial tidak dapat dikendalikan
sepenuhnya oleh siapa pun. Dalam setiap masyarakat terdapat sikius yang harus
diikutinya. Menurut teori ini, kebangkitan dan kemunduran suatu peradaban
(budaya masyarakat) tidak dapat dielakkan, dan tidak selamanya perubahan sosial
membawa kebaikan.
Oswald Spengler (1926) mengemukakan teori bahwa setiap masyarakat
berkembang melalui empat tahap perkembangan, seperti pertumbuhan manusia,
yaitu: masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan tua. Ia merasa bahwa masyarakat
Barat telah mencapai masa kejayaannya pada masa dewasa, yaitu selama zaman
pencerahan (renaissance) abad ke- 18. Sejak saat itu, tidak terelakkan lagi,
peradaban Barat mulai mengalami kemunduran menuju ke masa tua. Tidak ada yang dapat
menghentikan proses ini. Proses ini terjadi pada peradaban Babilonia, Mesir,
Yunani, dan Romawi yang terus mengalami kemunduran hingga akhirnya runtuh.
Arnold Toynbee, sejarawan Inggris, menambahkan bahwa kebangkitan dan
kemunduran suatu peradaban bisa dijelaskan melalui konsep-konsep kemasyarakatan
yang saling berhubungan, yaitu tantangan dan tanggapan (challenge and
response). Dia mengamati bagaimana tiap masyarakat menghadapi tantangan alam
dan sosial dan lingkungannya. Jika suatu masyarakat mampu merespons dan
menyesuaikan din dengan tantangan-tantangan tersebut, maka masyarakat itu akan
bertahan dan berkembang.
Sebaliknya, jika tidak, maka akan mengalami kemunduran dan akhirnya
punah. Menurut Toynbee, jika satu tantangan sudah bisa diatasi, akan muncul
tantangan baru lainnya.
Baca Juga :
0 Komentar Untuk "TEORI-TEORI PERUBAHAN SOSIAL"
Post a Comment