JAMBI MENGHISAP ASAP, SALAH SIAPA ?

SANKSI PEMBAKAR LAHAN DAN TANAMKAN BUDAYA STOP BAKAR
#LAWANASAP

Oleh :
Febrian Chandra
06 September 2015 Diperbarui 14 Oktober 2015

Beberapa tahun ini Provinsi Jambi terus diselimuti oleh asap tebal, seakan asap telah menjadi bencana musiman, berbicara mengenai asap, Asap adalah suspensi partikel kecil di udara (aerosol) yang berasal dari pembakaran tak sempurna dari suatu bahan bakar. Asap umumnya merupakan produk samping yang tak diinginkan dari api (termasuk kompor dan lampu) serta pendiangan, tapi dapat juga digunakan untuk pembasmian hama (fumigasi), komunikasi (sinyal asap), pertahanan (layar asap, smoke-screen) atau penghirupan tembakau atau obat bius. Asap kadang digunakan sebagai agen pemberi rasa (flavoring agent), pengawet untuk berbagai bahan makanan, dan bahan baku asap cair.[1]
Manusia hanyalah salah satu unsur dalam mata rantai kehidupan di bumi, yang menyebabkan ketergantungan pada sistem planet bumi sebagai life support system. Kerusakan lingkungan sudah menjadi masalah yang sangat mendesak untuk segera ditangani bagi kehidupan manusia, karena dalam hal ini manusia menjadi pelaku sekaligus sebagai korbannya. Keadaan semacam ini membuat lingkungan terancam oleh potensi krisis lingkungan.
Lebih lanjut mengenai asap asap yang timbul di Jambi adalah salah satu bentuk ketidakpedulian masyarakat dan dunia usaha dalam mengambil tindakan awal pembukaan lahan,  kita ambil kesimpulan awal bahwa asap yang terjadi di Provinsi Jambi adalah akibat dari pembakaran lahan yang tak bertanggung jawab, bahkan secara normatif banyak sekali Undang-Undang yang memberikan hukuman keras terhadap pembakaran lahan, saya ambil sebagian kecil aturan mengenai pembakaran lahan :
     1.       KUHP Pasal 189 : Barang siapa pada waktu ada atau akan ada kebakaran, dengan sengaja dan melawan hukum menyembunyikan atau membikin tak dapat dipakai perkakas-perkakas atau alat- alat pemadam api atau dengan cara apa pun merintangi atau menghalang-halangi pekerjaan memadamkan api, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
    2.       UU No 32 Tahun 2009 Tentang PPLH, Pasal 108: Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat 1 huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga belas tahun dan  denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling banyak Rp. 10.000.000.000.
    3.       UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan pasal 50 ayat 3 huruf d yang berbunyi setiap orang dilarang membakar hutan, menebang pohon, bila dengan sengaja membakar diancam pidana 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar (pasal 78 ayat 3)
   4.       Pasal 108 UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan: Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun dandenda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
     5.       Selain itu pelaku juga dapat dijerat dengan Pasal 69 UU 32 tahun 2009 berupa pidana dan denda seperti diatur Pasal 108. Ancaman pidana minimal tiga tahun dan maksimal 10 tahun ditambah pidana denda minimal Rp3 miliar dan maksimal Rp10 miliar.
Banyak aturan namun hanya segelintir personal dan badan usaha yang menerapkan Undang-Undang itu, dan saya mulai berpikir untuk membuat poin dan dosa KITA semua terhadap lingkungan :
   1.       Sebagian masyarakat dan badan usaha berpikir hanya persoalan keuntungan serta mamfaat pembakaran lahan itu untuk kepentingan mereka
ð  Pembakaran lahan dinilai sebagai solusi efektif dan efisien untuk membuka lahan baru, bahkan secara pasti telah dibuktikan bahwa pembakaran lahan dapat membuat tanah menjadi subur
     2.       Minimnya sosialisasi pemerintah ke penduduk terhadap pembukaan lahan
ð  Pemerintah membuat aturan, namun aturan tidak disosialisakan, apa dampaknya ?, mereka hanya tahu satu undang-undang, yaitu Undang-Undang dasar.
     3.       Saling menyalahkan
ð  Masyarakat menyalahkan perusahaan, perusahaan menyalahkan masyarakat, pemerintah hanya diam, dan yang terjadi api tak dipadamkan.
     4.       Lemahnya sanksi yang dijatuhkan
ð  Yang sering terjadi dalam kasus kebakaran hutan, bahwa ada hakim yang beranggapan untuk penggunaan sanksi pidana bersifat ultimum remedium. Artinya sepanjang sanksi di bidang hukum perdata dan administrasi telah diterapkan, maka sanksi pidana boleh tidak dijatuhkan. Ini membuat persoalan hukumnya menjadi semakin kompleks dan semuanya kembali kepada kesungguhan aparat penegak hukum di indonesia
     5.       Masyarakat hanya bisa mengomentari
ð  Seperti halnya artikel saya ini, yang hanya bisa mengomentari  namun tak bisa berbuat banyak, karena tak jarang bagian dari keluarga kita juga telah melakukan pembakaran lahan, bahkan menyaksikan dengan mata telanjang pembakaran itu.
     6.       Membakar tanpa memperhatikan arah angin
ð  Tak jarang dalam membakar lahan mereka yang tak bertanggung jawab melawan arah angin yang mengakibatkan lahan lain ikut terbakar dan membuat permasalahannya menjadi semakin luas.
            Dalam hal sanksi, pelaku tindak pidana pembakaran hutan yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik materil. delik materil  dan delik formil dapat didefensikan sebagai berikut:
1.         Dellik materil  (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau  perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin.
2.         Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi. Seperti perizinannya.
Pada tataran penegakan hukum mengenai pembakaran lahan, ternyata mengalami cukup banyak hambatan. Selain karena ketidakjelasan perumusan delik dan aneka sanksi, pembuktiannya juga cukup sulit, kecuali dalam hal tertangkap tangan.
Tegasnya, tindakan penegakan hukum preventif dan represif terhadap kasus kebakaran hutan dan lahan berikut dampak ekosistemnya masih belum efektif.Kenyataan itu, dapat dilihat dari minimnya penyelesaian kasus pembakaran hutan dan lahan yang diajukan ke Pengadilan.
            Kebakaran hutan yang hampir tiap tahun terjadi merupakan salah satu ancaman terhadap kelestarian hutan di Indonesia, disamping telah mengakibatkan berbagai kerusakan yang merugikan manusia. Peristiwa kebakaran hutan pada umumnya terjadi pada musim kemarau, terutama pada musim kemarau yang panjang. Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama yang menghambat keberhasilan pembangunan kehutanan, disamping pencurian kayu, dan kegagalan yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit.
Siapa yang salah, yang salah adalah kita semua, baik itu pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat, dan yang sangat kurang adalah sosialisasi terhadap kita semua, bahwa Pembakaran Lahan adalah wabah penyakit, penyakit yang akan menyudutkan indonesia di dunia internasional akibat ekspor asap ke negeri tetangga, dan sekarang tak jarang juga ada beberapa perusahaan dan kalangan individu masyarakat, yang sudah mengharamkan Pembakaran Lahan, karena sosialisasi aturan perundang undangan telah sampai ditelinga mereka, namun itu hanya sebagian kecil, karena indonesia sudah terlanjur berada di sistem perizinan yang salah, Sistem Membuka Lahan dahulu baru Mengurus izin, ini adalah sistem yang salah, salah besar, dan ini adalah dosa besar yang akibatnya ditanggung orang orang tak berdosa.
Pemerintah diharapkan harus bersikap proaktif dan bukan sebaliknya hanya menunggu kabar baik, karena jika hanya menunggu sampai dunia terbalikpun tak akan selesai masalah ini.
Lebih lengkapnya kami memberikan masukan kecil berdampak besar :
Untuk masyarakat sekitar kawasan hutan Sebaiknya lebih berpartisipasi dan berperan aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan terkhususnya kawasan hutan agar terjain keseimbangan antara manusia dan alam
Untuk pemerintah harus lebih tegas dalam menegakkan peraturan untuk memberi efek jera bagi pelaku pembakaran hutan bukan hanya sekedar membuat aturan yang highcost tanpa ada penerapan dilapangan yang menimbulkan persepsi bahwa hukum dibuat untuk dilanggar karena tidak ada kejelasan dari aturan tersebut
Untuk pelaku usaha perlu ditingkat sosialisasi dengan masyarakat agar terjalin komunikasi yang baik  


[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Asap

0 Komentar Untuk "JAMBI MENGHISAP ASAP, SALAH SIAPA ?"

Post a Comment