PEMERIKSAAN ACARA BIASA DI PTUN


1. PENGAJUAN  GUGATAN [1]
Pengajuan gugatan dalam Hukum Acara TUN agak berbeda dengan Hukum Acara Perdata pada peradilan umum, karena adanya pembatasan waktu pengajuan gugatan yang diatur dalam Pasal 55 [2], dimana disebutkan bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan/Pejabat TUN.
2. PROSEDUR PENGAJUAN GUGATAN
          Pada prinsipnya setiap orang atau badan hukum perdata [3]yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang, yang berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi (Pasal 53 ayat (1)).
Pengajuan gugatan TUN dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:
1.    Gugatan diajukan langsung oleh Penggugat, atau
2.    Gugatan diajukan melalui pos oleh Penggugat
AD. 1
Gugatan yang diajukan langsung oleh Penggugat diterima oleh panitera, tetapi tidak langsung dimasukkan ke dalam daftar perkara sebelum Penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarannya ditafsir oleh Panitera. Setelah uang muka biaya perkara dibayar, gugatan dimasukkan dalam daftar perkara untuk mendapatkan nomor perkara dan gugatan baru diproses untuk dilanjutkan.
AD.2
Gugatan yang diajukan melalui pos, Panitera harus memberitahu tentang pembayaran Uang Muka Biaya Perkara kepada Penggugat dengan diberi waktu paling lama 6 (enam) bulan bagi Penggugat itu untuk memenuhinya dan kemudian diterima di Kepaniteraan terhitung sejak tanggal dikirimnya surat pemberitahuan tersebut. Setelah lewat tenggang waktu tersebut dan Uang Muka Biaya Perkara belum diterima di Kepaniteraan, maka gugatan tidak akan didaftar. Gugatan yang dikirim melalui pos yang belum dipenuhi pembayaran uang muka biaya perkara tersebut tetap disimpan oleh Panitera Muda Bidang Perkara dan harus dicatat dalam Buku Pembantu Register dengan mendasarkan pada tanggal diterimanya gugatan tersebut, mengingat ketentuan tenggang waktu dalam Pasal 55. Dengan demikian, gugatan yang diajukan melalui pos oleh Penggugat seperti halnya gugatan yang diajukan langsung oleh penggugat, baru diproses jika uang muka biaya perkara yang besarannya ditafsir oleh Panitera telah dibayar.
Pengajuan gugatan secara tertulis tersebut, harus didasarkan pada alasan-alasan yang jelas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004, alasan-alasan tersebut adalah:
1.    KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.    KTUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Syarat-syarat Gugatan
Pasal 56 menentukan bahwa:
1.    Gugatan harus memuat: [4]
a.    nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya;
b.    nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
c.    dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan
2.    Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah
3.    Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh penggugat.
a.    Dari bunyi pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa syarat-syarat yang harus dimuat dalam surat gugatan adalah sebagai berikut:
b.    Identitas diri terdiri dari penggugat dan tergugat
c.    Dasar Gugatan (fundamentum petendi/posita/dalil gugat)
d.    Hal yang diminta untuk diputus oleh pengadilan (petitum)
Gugatan tersebut juga harus disertai surat kuasa yang sah, apabila menggunakan kuasa dan disertai juga KTUN yang disengketakan.
Dasar gugatan yang terdapat atau merupakan bagian dari surat gugatan, fungsinya sangat penting dan menentukan pada pemeriksaan di sidang pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, karena dari dasar gugatan tersebut titik tolak pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan.
Uraian mengenai dasar gugatan pada surat gugat, untuk menyelesaikan sengketa TUN dapat berpedoman pada uraian mengenai dasar gugatan dalam surat gugat untuk menyelesaikan perkara perdata. Pada umumnya dasar gugatan terdiri dari:
1.    Uraian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa (feitelijke gronden, factual gronden)
Uraian ini merupakan uraian mengenai duduk perkaranya, terutama tertuju pada dikeluarkannya KTUN oleh Tergugat, yang oleh Penggugat dirasa merugikan kepentingannya. Uraian ini juga menyangkut mengenai perbuatan-perbuatan Tergugat yang tidak tampak dalam suatu tulisan. Contoh: ”Pada tanggal .... bulan..... tahun.... tergugat tanpa mendengar atau memberi kesempatan untuk membela diri bagi penggugat, terlebih dahulu secara melawan hukum telah mengeluarkan SK Pemberhentian tidak atas permintaan sendiri untuk penggugat”.
2.    Uraian tentang dasar hukum gugatan (rechts gronden, legal gronden) [5]
Uraian ini adalah uraian mengenai segi hukum dari dasar gugatan yang diajukan oleh penggugat. Uraian ini harus bisa mengemukakan bahwa KTUN yang disengketakan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 huruf a dan/atau b.
3.    Uraian tentang tuntutan (petitum)
Dalam uraian ini harus ada keterkaitan antara fundamentum petendi dengan petitum, dalam arti apa yang terdapat dalam fundamentum petendi menjadi dasar dari apa yang terdapat dalam petitum. Pada intinya isi dari petitum adalah tuntutan agar KTUN yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah. Petitum ini dapat ditambahi dengan petitum tambahan yaitu tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
4.    Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan
Ketentuan tentang tenggang waktu gugatan harus diperhatikan jika seseorang atau badan hukum perdata akan mengajukan gugatan ke pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, karena dengan lewatnya tenggang waktu gugatan, Ketua Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai alasan untuk memutuskan dengan penetapan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar (Pasal 62 ayat (1) huruf e).
Pasal 55 menyatakan bahwa ”Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”. Kalimat ”saat diterimanya” mengadung 2 (dua) pengertian, yaitu diterima secara langsung oleh yang bersangkutan dan diterima melalui pos tercatat atau pos biasa. Sedangkan bagi KTUN yang diumumkan maka tenggang waktu 90 hari terhitung mulai tanggal KTUN itu diumumkan.
Terhadap KTUN yang merupakan kategori Pasal 3 maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
1.    Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 hari itu dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan;
2.    Pasal 3 ayat (3), maka tenggang waktu 90 hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
3.    Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu 90 hari itu dihitung sejak hari pengumuman tersebut.
Bagi pihak lain yang tidak dituju oleh KTUN tersebut tetapi merasa dirugikan akibat dikeluarkannya KTUN tersebut, maka tenggang waktu gugatan dari pihak yang dirugikan tersebut adalah 90 hari sejak saat seseorang atau badan hukum perdata itu merasa kepentingannya dirugikan oleh KTUN dan mengetahui adanya keputusan tersebut, namun hal ini harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Bagi KTUN yang telah diajukan upaya administratif maka tenggang waktu 90 hari dihitung dari tanggal keputusan administratif diterima oleh yang bersangkutan.
Dengan lewatnya tenggang waktu gugatan,[6] maka KTUN tidak dapat digugat lagi dengan sarana hukum yang ada, meskipun KTUN tersebut mengandung cacat hukum, kecuali atas kemauan sendiri Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang mencabut atau mengubah KTUN dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.    Biaya Perkara
Pada prinsipnya biaya perkara ditanggung oleh pihak yang dikalahkan, namun sebelum diputuskan oleh Pengadilan maka Penggugat dibebankan untuk menanggung biaya perkara yang sifatnya talangan, disebut dengan Uang Muka Biaya Perkara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 59 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986, yaitu “Untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara, yang besarnya ditafsir oleh Panitera Pengadilan”. Menurut Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 1991 ditentukan sekurang-kurangnya Uang Muka Biaya Perkara adalah Rp. 50.000,00 (Lima Puluh Ribu Rupiah).
Yang dimaksud dengan Uang Muka Biaya Perkara adalah biaya yang dibayar lebih dahulu sebagai uang panjer oleh pihak Penggugat terhadap perkiraan biaya yang diperlukan dalam proses berperkara, seperti biaya kepaniteraan, biaya materai, biaya saksi, biaya asli, biaya alih bahasa, biaya pemeriksaan ditempat lain dari ruang sidang, dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim.
Setelah perkara selesai dan sudah diputus, apabila Penggugat dimenangkan maka Uang Muka Biaya Perkara akan dikembalikan tetapi apabila Penggugat dikalahkan maka biaya keseluruhan dari perkara tersebut dihitung, kalau Uang Muka Biaya Perkara melebihi dari biaya keseluruhan dari perkara tersebut maka kelebihannya akan dikembalikan, tetapi kalau Uang Muka Biaya Perkara lebih kecil dari biaya keseluruhan maka Penggugat wajib menambah Uang Muka Biaya Perkara untuk membayar biaya perkara.
Bagaimana kalau Penggugat tidak mampu untuk membayar uang muka biaya perkara ?. Terhadap hal ini, Pasal 60 ayat (1) menentukan bahwa Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma.[7] Permohonan untuk bersengketa dengan cuma-cuma (prodeo) oleh Penggugat diajukan bersama-sama dengan surat gugatan kepada Ketua Pengadilan dengan dilampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kepala Desa atau Lurah setempat. Pemeriksaan secara cuma-cuma ini juga berlaku pada tingkat banding dan kasasi.
2. Penelitian Administratif
Menurut Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 1991 dan Surat Ketua Muda MA Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tanggal 24 Maret 1992 Nomor 051/Td.TUN/III/1992, yang mempunyai wewenang untuk melakukan penelitian administratif adalah panitera, wakil panitera, dan panitera muda perkara sesuai dengan pembagian tugas yang diberikan.
Obyek penelitian administratif ini adalah segi formalnya gugatan, apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 56, tidak menyangkut tentang segi materiil dari gugatan. Dalam penelitian administratif, panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk yang diperlukan dan dapat meminta kepada penggugat untuk memperbaiki atau melengkapi gugatannya.
3. Rapat Permusyawaratan [8]
Setelah surat gugatan diterima oleh Ketua Pengadilan dari Panitera, maka oleh Ketua Pengadilan surat gugatan tersebut diperiksa dalam rapat permusyawaratan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986, yang menyatakan bahwa:
1.    Dalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal:
a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan;
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan;
c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh ktun yang digugat;
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
2.    Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya;
3.    Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan.
4.     Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan;
5.    Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
6.    Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat.
7.    Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh pengadilan, maka penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
8.    Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 1 huruf a sampai dengan e oleh Martiman Prodjohamidjojo (1996: 56), dijelaskan sebagai berikut:
1.    Jika pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
2.    Jika syarat dalam Pasal 56 ayat (1) huruf a dan b tidak dipenuhi oleh penggugat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dan jika syarat materiil dalam Pasal 56 ayat (1) huruf c tidak dipenuhi, maka gugatan dinyatakan tidak berdasar (niet gegrond);
3.    Jika gugatan tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak (Pasal 53 ayat (2)), maka gugatan dinyatakan tidak berdasar (niet gegrond);
4.    Jika apa yang dituntut sebenarnya sudah dipenuhi oleh KTUN yang digugat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
5.    Jika gugatan yang diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 02/PLW/1993-PEND/PTUN-JKT, yang dimaksud dengan Rapat Permusyawaratan diartikan sebagai raad kamer dalam pemeriksaan kamar tertutup, dilakukan oleh Ketua Pengadilan tanpa adanya proses antar pihak-pihak dan tanpa dilakukan pemeriksaan di muka umum, hal mana sesuai dengan maksud dan hakekat acara singkat dalam proses dissmisal procedure, dengan demikian proses tersebut pada dasarnya merupakan suatu penanganan yang bersifat inquisitoir belaka yang merupakan pertahapan atau fase pendahuluan terhadap gugatan yang diajukan. [9]
Pemeriksaan surat gugatan dalam rapat permusyawaratan merupakan suatu prosedur penyelesaian yang disederhanakan, dimana Ketua Pengadilan diberikan wewenang untuk memutuskan dengan mengeluarkan suatu penetapan, yaitu penetapan dismissal yang menyatakan bahwa gugatan yang diajukan ke pengadilan tidak diterima atau tidak berdasar.
Mengenai siapa yang ikut memutuskan dalam rapat permusyawaratan, terjadi perbedaan pendapat diantara para pakar Tata Negara. SF Marbun (1988:102) berpendapat bahwa acara rapat permusyawaratan dilakukan sendiri oleh Ketua Pengadilan. Indroharto (1993:118) menyatakan bahwa rapat permusyawaratan dihadiri oleh mereka yang ikut dalam memutuskan perkara yang bersangkutan, yaitu Ketua Sidang dan para Anggota Majelis dan Panitera atau Panitera Pengganti yang akan ikut dalam persidangan. Sedangkan menurut Philipus M. Hadjon (1995: 343), bahwa rapat permusyawaratan terdiri dari para hakim dan panitera yang diketuai oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.
4. Pemeriksaan Persiapan
Pasal 63 undang-undang tersebut, menyatakan bahwa:
1.    Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
2.    Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim:
a.    wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari;
b.    dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang  bersangkutan.
3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
4. Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.
Wewenang Hakim dalam Pemeriksaan Persiapan [10] ini difungsikan untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai penggugat dalam mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN mengingat antara penggugat dan Badan atau Pejabat TUN mempunyai kedudukan yang tidak sama. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka hakim dapat meminta kepada Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan untuk mengirimkan KTUN yang sedang disengketakan itu kepada pengadilan, dan hakim dapat meminta tergugat untuk memberikan keterangan/penjelasan berkenaan dengan KTUN yang digugat. Namun pemanggilan tidak hanya dilakukan kepada tergugat, hakim juga dapat memanggil penggugat untuk memperbaiki atau melengkapi gugatannya. Pemeriksaan persiapan juga difungsikan untuk menerima bukti-bukti dan surat-surat yang berkaitan dengan gugatan.
5. Pemeriksaan Pokok Sengketa
Pemeriksaan pokok sengketa diawali dengan pemanggilan para pihak, menurut Pasal 65 UU No 5 Tahun 1986 panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat. Surat panggilan yang ditujukan kepada Tergugat disertai salinan gugatan dengan pemnberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis (Pasal 59 ayat (4)). Hal ini sesuai dengan asas yang dianut dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara yaitu asas beracara dengan surat atau tulisan atau schriftelijke procedure (Martiman Prodjohamidjojo, 1996: 10).
Mengenai ketidakhadiran para pihak,[11] undang-undang telah memberikan pengaturan sebagai berikut:
1.    Penggugat tidak hadir [12]
2.    Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa ”Dalam hal Penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari pertama dan hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun setiap kali dipanggil dengan patur, gugatan dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar biaya perkara”.
3.    Tergugat tidak hadir [13]
4.    Pasal 72 UU Nomor 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa:
1. Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan.
2. Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan surat tercatat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat.
3. Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.
Pengadilan Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus Sengketa Tata Usaha Negara dengan tiga orang Hakim (majelis). Persidangan dibuka dan dipimpin oleh Hakim Ketua Sidang (Pasal 68) dan menyatakan sidang terbuka untuk umum atau tertutup untuk umum. Hal ini sangat penting, karena jika tidak disampaikan dapat menyebabkan putusan pengadilan batal demi hukum.
Dalam proses pemeriksaan di muka Pengadilan Tata Usaha Negara dimaksudkan untuk menguji apakah dugaan bahwa KTUN yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak. Gugatan sifatnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya KTUN yang digugat tersebut, selama hal itu belum diputuskan oleh pengadilan maka KTUN itu harus dianggap menurut hukum. Hal ini dikarenakan Hukum Tata Usaha Negara mengenal asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid) = praesumptio instae causa terhadap semua tindakan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, termasuk KTUN yang telah dikeluarkan (Suparto Wijoyo, 1997: 54).[14]
Namun dalam keadaan-keadaan tertentu, penggugat dapat mengajukan permohonan agar selama proses berjalan, KTUN yang digugat itu diperintahkan untuk ditunda pelaksanaannya.[15] Pengadilan akan mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN tersebut hanya, apabila:
1.    Terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika kerugian yang akan diderita penggugat akan sangat tidak seimbang dibanding dengan manfaat bagi kepentingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan KTUN tersebut, atau
2.    Pelaksanaan KTUN yang digugat itu tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan.
Tahapan-tahapan dalam pemeriksaan pokok sengketa adalah sebagai berikut:
1. Tahap pembacaan isi gugatan dari penggugat dan pembacaan jawaban dari tergugat
Pasal 74 ayat (1) menyatakan bahwa ”Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang dan jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya”. Dalam prakteknya bisa saja hakim tidak membacakan gugatan atas persetujuan tergugat, mengingat tergugat sudah mendapatkan salinan gugatan. Begitu juga terhadap jawaban gugatan dari tergugat bisa saja tidak dibacakan oleh hakim tetapi hanya diserahkan salinannya kepada penggugat.
Jawaban yang diajukan oleh Tergugat dapat berupa alternatif, sebagai berikut:
1.    Eksepsi [16]saja, yang dapat berupa:
 Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan (Pasal 77 ayat (1)). Eksepsi ini sebenarnya dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan dan meskipun tidak ada eksepsi tersebut, apabila hakim mengetahui karena jabatannya, wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan;
1.    Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan (Pasal 77 ayat (2)). Eksepsi ini diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa;
2.    Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan [17] (Pasal 77 ayat (3)). Eksepsi ini hanya dapat diputus bersama-sama dengan pokok sengketa.
a.    Jawaban pokok sengketa dan eksepsi, atau
b.    Jawaban pokok sengketa saja.
2. Tahap pengajuan replik
Replik diartikan penggugat mengajukan atau memberikan tanggapan terhadap jawaban yang telah diajukan oleh tergugat. Sebelum penggugat mengajukan replik, atas dasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 75 ayat (1), penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat. Replik diserahkan oleh penggugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada tergugat.
3. Tahap pengajuan duplik
Duplik diartikan tergugat mengajukan atau memberikan tanggapan terhadap replik yang telah diajukan oleh penggugat. Dalam hal ini, sebelum mengajukan duplik tergugat juga diberikan kesempatan untuk mengubah alasan yang mendasari jawabannya, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (Pasal 75 ayat (2)). Duplik diserahkan oleh tergugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada penggugat.
Setelah tergugat mengajukan duplik, kemudian Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang untuk memberikan kesempatan kepada penggugat dan tergugat mengajukan alat-alat bukti.
4. Tahap pengajuan alat-alat bukti
Pada tahap pengajuan alat-alat bukti, baik penggugat maupun tergugat sama-sama mengajukan alat-alat bukti yang terbatas berupa: [18]
a.  Surat atau tulisan (Pasal 100 ayat (1) huruf a);
b.  Keterangan ahli (Pasal 100 ayat (1) huruf b); dan
c.  Keterangan saksi (Pasal 100 ayat (1) huruf c)
5. Tahap pengajuan kesimpulan
Pada tahap pengajuan kesimpulan ini, pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara sudah selesai. Masing-masing pihak mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan mengenai sengketa Tata Usaha Negara antara penggugat dengan tergugat, yang intinya adalah sebagai berikut:
a. Penggugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang dikeluarkan oleh tergugat agar dinyatakan batal atau tidak sah.
b. Tergugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang telah dikeluarkan adalah sah.
6. Tahap penjatuhan putusan [19]
Setelah penggugat dan tergugat mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan sidang ditunda, karena Majelis Hakim akan mengadakan musyawarah untuk mengambil putusan (Pasal 97 ayat (2)). Putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 108 ayat (1)), artinya siapapun dapat hadir untuk mendengarkan putusan yang diucapkan. Sebagai akibat dari putusan yang diucapkan tidak dalam sidang yang terbuka untuk umum, putusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasai 108 ayat (3)). Disamping itu putusan harus dituangkan dalam bentuk tertulis.
Jika terdapat perbedaan antara putusan yang diucapkan dengan putusan yang dituangkan dalam bentuk tertulis, maka yang sah adalah putusan yang diucapkan (Sudikno Mertokusumo, 1988: 168).[20] Hal ini juga sesuai dengan Pasal 20 UU Nomor 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Terhadap putusan pengadilan tersebut, penggugat dan/atau tergugat dapat menentukan sikap sebagai berikut:
1.    Menerima putusan pengadilan;
2.    Mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding, jika yang menjatuhkan putusan adalah pengadilan tata usaha negara (pasal 122)
3.     Mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, jika yang menjatuhkan putusan adalah pengadilan tinggi tata usaha negara sebagai pengadilan tingkat pertama (pasal 51 ayat (4)).
4.    Pikir-pikir dalam tenggang waktu 14 hari setelah diberitahukan secara sah putusan pengadilan, apakah menerima putusan pengadilan atau mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi.



[1] Rozali Abdullah,hukum acara PTUN,cetakan pertama,Jakarta:cv rajawali,1992,hlm 39
[2] Pasal 54 ayat 1,UUNRI No.5/1986 ttg gugatan sengketa TUN
[3] Djaja S.Melia,Hukum perdata dalam persfektif BW,cetakan pertama,Bandung:nuansa aulia,2012,hlm.18
[4] M.Natsir,Hukum Acara PTUN,Jakarta,Djambatan:2003,hlm.65/unsure-unsur surat gugatan
[5] M.Natsir,Ibid.hlm.70
[6] M.Natsir,Ibid,hlm.82
[7] M.Natsir,Ibid,hlm.85
Pasal 60-61 UUNRI No.5/1986,penjelasan berperkara secara Cuma-cuma
[8] M.Natsir,Ibid,hlm.119
[9] Yurisprudensi MA, 1993: 385
[10] Rozali Abdullah,Hukum Acara PTUN,Rajawali,Jakarta:1992,hlm.45
[11] M.Natsir,Hukum Acara PTUN,Djambatan,Jakarta:2003,hlm.107
[12] M.Natsir,Ibid,hlm.107
[13] M.Natsir,Ibid,hlm.109
[14] Suparto Widjoyo,1997:54
[15] M.Natsir,Hukum Acara PTUN,Jakarta:Djambatan,2003,hlm.183
[16] M.Natsir,Ibid,hlm.99
[17] M.Natsir,Ibid,hlm.100
[18] M.Natsir,Ibid,hlm.140-143
[19] Rozali Abdullah,HukumAcara PTUN,Jakarta:Rajawali,1992,hlm.79
[20] Soedikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia,cetakan pertama edisi ketiga,Jogjakarta:1988,hlm.168

0 Komentar Untuk "PEMERIKSAAN ACARA BIASA DI PTUN"

Post a Comment