HUKUM ADAT DI INDONESIA


Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti JepangIndia, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hokum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastic Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
  1. Hukum Adat mengenai tata negara
  2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
  3. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.
Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).
Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.

Wilayah hukum adat di Indonesia
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).
Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
  1. Aceh
  2. Gayo dan Batak
  3. Nias dan sekitarnya
  4. Minangkabau
  5. Mentawai
  6. Sumatra Selatan
  7. Enggano
  8. Melayu
  9. Bangka dan Belitung
  10. Kalimantan (Dayak)
  11. Sangihe-Talaud
  12. Gorontalo
  13. Toraja
  14. Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
  15. Maluku Utara
  16. Maluku Ambon
  17. Maluku Tenggara
  18. Papua
  19. Nusa Tenggara dan Timor
  20. Bali dan Lombok
  21. Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
  22. Jawa Mataraman
  23. Jawa Barat (Sunda)
Penegak hukum adat
     Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
  1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
  2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
  3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
  1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
  2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
  3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah

HUKUM TANAH NASIONAL TUNGGAL
      Hukum Tanah Nasional tunggal yang berdasarkan Hukum Adat
Tadinya pada Rancangan UUPA susunan Soenarjo tidak memilih Hukum Adat sebagai dasar Utama Pembangunan Tanah yang Baru. Namun dalam UUPA telah menanggalkan kebhinekaan hukum di bidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah nasional yang tunggal pada hukum Adat. UUPA juga mengunifikasi hak-hak penguasaan atas tanah maupun hak-hak atas tanah maupun hak-hak jaminan atas tanah.

Hukum Adat dalam UUPA
Pernyataan hukum adat dapat dijumpai dalam UUPA pada : Konsiderans UUPA, Penjelasan Umum angka III (1), Pasal 5, Penjelasan Pasal 5, Penjelasan Pasal 16, Pasal 56, dan secara tidak langsung juga terdapat pada Pasal 58 UUPA.

Hukum Adat Mana?
     Karena adanya berbagai definisi mengenai Hukum Adat dan juga secara sederhana Hukum Adat di setiap daerah yang berbeda, maka Hukum Adat yang mana? C. Van Vollenhoven menyebut hukum adat sebagai hukum adat sebagai hukum adat golongan pribumi (Golongan III Pasal 131 IS) atau hukum adat golongan timur asing (Golongan II Pasal 131 IS). Sementara itu dalam Penjelasan Umum III angka 1 mengisyaratkan bahwa hukum adat yang dimaksud ialah hukum aslinya golongan pribumi, yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsure-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.

Unsur-Unsur dan Pengejahwantahan Hukum Adat
Hukum Adat yang melekat pada masyarakat Hukum Adat tidak hanya diartikan sebagai hukum positif yakni sebagai rangkaian norma-norma hukum. Namun apabila ditinjau lebih lanjut maka hukum adat disusun dalam satu tatanan atau sistem, dengan lembaga-lembaga hukum yang senantiasa berubah dan diperlukan dalam memenuhi kebutuhan kongrit masyarakat-masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dan hal tersebut sangat tergantung pada situasi dan keadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

KONSEPSI dan SISTEM HUKUM ADAT
Konsepsi Hukum Adat
Komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Manifestasi lebih lanjut pada konsepsi ini ialah dengan adanya Tanah Ulayat yang memiliki unsur kebersamaan dan terdapat fungsinya untuk kepentingan bersama. Dan dengan demikian maka tanah ulayat, selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah yang termasuk dalam ranah hukum perdata, juga mengandung tugas mengelola yang masuk dalam hukum publik. Hak Ulayat ini memungkinkan adanya hak Milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat.
Sistem Hukum Adat Sistem hak-hak penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat ternyata membentuk hirarki yang biasanya terjadi pada Tanah Ulayat adalah : (1) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, (2) Hak kepada Adat dan para tetua adat, (3) hak atas tanah.

HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT
Hak Ulayat
     Hak Ulayat (UUPA), Pertuan (Ambon), paer (Lombok), Beschickkingsrech (van Vollenhoven) ,atau sebuah tanah masyarakat hukum adat tidaklah dapat dikatakan sebagai tanah res nullius, Karena hak ulayat atas tanah masyarakat hukum adat sangat luas yang meliputi semua tanah yang ada di wilayah masyarakat hukum adat. Sedangkan yang dimaksud dengan hak ulayat ialah wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
Kekuatan Hak Ulayat yang berlaku ke dalam Kekuatan yang dapat memaksa masyarakat hukum adat dalam menguasai masyarakat hukum adat adalah dengan memberikan kewajiban masyarakat hukum adat untuk: memelihara kesejahteraan anggota masyarakat hukumnya, dan mencegah agar tidak timbul bentrokan akibat penggunaan bersama. Dan yang menarik ialah ketika pewaris meninggalkan warisan tanpa ahli waris maka masyarakat hukum adatlah yang menjadi ahli warisnya.

Hubungan Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan
Ada pengaruh timbal balik antara Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan yakni semakin banyak usaha yang dilakukan oleh seseorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya atas tanah tersebut. Misalnya tanah yang memiliki keratan dan semakin diakui sebagai hak milik, tiba-tiba tidak diusahakan lagi, maka tanah pribadi tersebut diakui kembali menjadi hak Ulayat.

Kekuatan Hak Ulayat berlaku ke luar
Setiap orang yang bukan masyarakat hukum adat suatu daerah dilarang untuk masuk limgkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat tanpa izin Penguasa hukum adatnya. Cara mendapatkan izin ialah dengan memberikan barang (pengisi adat) secara terang dan tunai.
Hak Ulayat dalam UUPA
Hak ulayat jelas sekali diakui dalam UUPA, dengan syarat mengenai eksistensinya dan sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Yang menjadi kriteria eksistensi hak ulayat dapat diakui ilalah tidak ada, sehingga pelemahan Tanah Ulayat di berbagai daerah sangatlah sulit. Sedangkan UUPA tidak mendelegasikan pengaturan mengenai Hak Ulayat dan membiarkan pegaturannya tetap berlaku menurut hukum adat setempat. Kemudian pada prakteknya sangat sukar untuk menetukan atau mencari tanah yang masih Tanah Ulayat. Mengenai imbalan ketika telah melakukan Hak Asasi dapat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum, atau bentuk lain yang diperlukan oleh masyarakat.
Hak Ulayat didalam UU Pokok Kehutanan
Hak Ulayat diabahas setengah hati dalam UU Kehutanan 1999, yang didefinisikan sebagai hak bersama para warga masyarakat hukum adat dengan syarat sebagaimana pasal 67.

HUBUNGAN FUNGSIONAL ANTARA HUKUM ADAT DAN HUKUM TANAH NASIONAL
Arti Hubungan Fungsional
Hukum adat dalam konsideran UUPA yang diakui sebagai dasar, ternyata tidak berfungsi sebgaimana yang diharapkan. Seperti halnya dalam masalah gadai, Gadai yang seyogyanya dalam masyarakat hukum adat dilakukan di hadapan Kepala Desa (das solen), namun sekarang (das sein) telah diganti oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Hukum Adat sebagai Sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional. Sumber Utama Hukum Adat yang diberlakukan sebagai Hukum Tanah nasional adalah berupa konsepsi, asas, dan lembaga hukumnya. Konsepsi mendasar sebagaimana pasal (1) ayat (2) ialah komunalistik dan religious, sedangkan asasnya meliputi asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, asas pemerataan dan keadilan social, asas pemeliharaan tanah, asas pemisahan horizontal.
Sumber-sumber Lain dalam Pembangunan Hukum Nasional
UUPA tidak menutup kesempatan untuk lembaga-lembaga yang dikenal dalam hukum adat seperti lembaga-lembaga dari hukum asing sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pendaftaran Tanah dengan melalui PPAT, adanya Hak Tanggungan, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan merupakan lembaga hukum yang tidak dikenal dalam masyarakat Hukum adat tetapi diakui UUPA.
Hukum Adat sebagai Pelengkap Hukum Tanah Nasional positif yang tertulis
.
Hukum Tanah Nasional adalah Hukum Adat (Pasal 5 UUPA), menunjukan fungsi Hukum Adat sebagai sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional. Maka jika sesuatu soal dalam Hukum Tanah tertulis belum lengkap maka berlakulah Hukum Adat setempat. Hukum adat yang telah terkontaminasi feodalistik maupun kapitalistik dalam konteks pelengkap Hukum Tanah Positif dalam penerapannya harus dibersihkan terlebih dahulu dari ketentuan hukum asing. Sehingga dalam praktik yang berwenang melakukan pemersihan atas Hukum Adat ini adalah

Hakim serta Penguasa Legislatif. Tidak boleh bertentangan dengan Kepentingan nasional dan Negara Hukum Adat sudah semestinya untuk tidak bertentangan dengan Kepentingan Nasional Negara, sehingga perlu adanya pembinaan dengan menguji hukum adat agar tidak bertentangan. Tidak boleh bertentangan dengan Sosialisme Indonesia Perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai sosialisme Indonesia, dalam hal ini menghadapi hal-hal kongrit dalam masyarakat maka keinginan dan kesadaran hukum masyarakatlah yang merupakan pedoman.

Tidak boleh bertentangan dengan peraturan UUPA Suatu contoh bahwa di Batak misalnya yang tidak memberikan kesempatan bagi wanita untuk memiliki tanah karena patrilineal, sedangkan UUPA mengatur bahwa tiap-tiap warganegara memiliki hak yang sama. Pertentangan tersebut yang berlaku di Hukum Adat Batak dikesampingkan oleh UUPA sehingga di Batak memberi kesempatan untuk wanita memiliki sebidang tanah. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya Jadi peraturan perundang-undangan bisa mengenyampingkan hukum adat yang berlaku asalkan dinyatakan demikian. Norma Hukum Kosong inilah yang sering digunakan oleh penguasa untuk mengebiri keberadaan  Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional. Hukum Adat sebagai bagian dari Hukum Tanah Nasional Hukum adat harus tetap menjadi acuan dalam pembentukan hukum hukum tanah selanjutnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya penyerapan Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional semakin berkurang untuk dijadikan dasar.


Hukum kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat Hukum adat yang lahir dari Yurisprudensi Pengadilan ataupun Hukum Adat yang lahir dari Praktik Administrasi tidaklah dianggap sebagai Hukum Adat. Begitu juga dengan pembentukan hukum baru karena adanya kekosongan hukum tidak dianggap sebagai hukum adat.

3 Komentar Untuk "HUKUM ADAT DI INDONESIA"