Melayu
Di Pulau Sumatera, Provinsi Jambi merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901). Kesultanan ini memang tidak berhubungan secara langsung dengan 2 kerajaan Hindu-Budha pra-Islam. Sekitar Abad 6 - awal 7 M berdiri KERAJAAN MALAYU (Melayu Tua) terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Catatan Dinasti Tang mengatakan bahwa awak Abad 7 M. dan lagi pada abad 9 M Jambi mengirim duta / utusan ke Kekaisaran Cina (Wang Gungwu 1958; 74). Pemerintah ini bersaing dengan SRI WIJAYA untuk menjadi pusat perdagangan. Letak Malayu yang lebih dekat ke jalur pelayaran Selat Malaka menjadikan Sri Wijaya merasa terdesak sehingga harus menyerang Malayu sehingga akhirnya tunduk kepada Sri Wijaya. Muaro jambi, sebuah kompleks percandian di hilir Jambi mungkin dulu bekas pusat belajar agama Budha sebagaimana catatan pendeta Cina I-Tsing yang berlayar dari India pada tahun 671. Ia belajar di Sriwijaya selama 4 tahun dan kembali pada tahun 689 bersama empat pendeta lain untuk menulis dua buku tentang ziarah Budha. Saat itulah ia tulis bahwa Kerajaan Malayu kini telah menjadi bagian Sri Wijaya.
Abad ke 11 M setelah Sri Wijaya mulai pudar, ibu kota dipindahkan ke Jambi (Wolters 1970:2). Inilah KERAJAAN MALAYU (Melayu Muda) atau dharmasraya berdiri di Muara Jambi. Sebagai sebuah kota yang besar, Jambi juga menghasilkan berbagai rempah-rempahan dan kayu-kayuan. Sebaliknya dari pedagang Arab, mereka membeli kapas, kain dan pedang. Dari Cina, sutera dan benang emas, sebagai bahan baku kain tenun songket (Hirt & Rockhill 1964; 60-2). Tahun 1278 Ekspedisi Pamalayu dari Singasari di Jawa Timur menguasai kerajaan ini dan membawa serta putri dari Raja Malayu untuk dinikahkan dengan Raja Singasari. Hasil perkawinan ini adalah seorang pangeran bernama Adityawarman, yang setelah cukup umur dinobatkan sebagai Raja Malayu. Pusat kerajaan inilah yang kemudian dipindahkan oleh Adityawarman ke Pagaruyung dan menjadi raja pertama sekitar tahun 1347. Di Abad 15, Islam mulai menyebar ke Nusantara.
KESULTANAN JAMBI
"Tanah Pilih Pesako Betuah". Seloka ini tertulis di lambang Kota Jambi hari ini. Dimana menurut orang tua-tua pemangku adat Melayu Jambi, Konon Tuanku Ahmad Salim dari Gujarat berlabuh di selat Berhala, Jambi dan mengislamkan orang-orang Melayu disitu, ia membangun pemerintahan baru dengan dasar Islam, bergelar Datuk Paduko Berhalo dan menikahi seorang putri dari Minangkabau bernama Putri Selaras Pinang Masak. Mereka dikaruniai Allah 4 anak, semuanya menjadi datuk wilayah sekitar kuala tersebut. Adapun putra bungsu yang bergelar Orang Kayo Hitam berniat untuk memperluas wilayah sampai ke pedalaman, jika ada tuah, membangun sebuah pemerintahan baru. Maka ia lalu menikahi anak dari Temenggung Merah Mato bernama Putri Mayang Mangurai. Oleh Temenggung Merah Mato, anak dan menantunya itu diberilah sepasang Angsa dan Perahu Kajang lako. Kepada anak dan menantunya tersebut dipesankan agar menghiliri aliran Sungai Batanghari untuk mencari tempat guna mendirikan pemerintah yang baru itu dan bahwa tempat yang akan dipilih sebagai situs pemerintah baru nanti haruslah tempat dimana sepasang Angsa bawaan tadi mau naik ke tebing dan mupur di tempat tersebut selama dua hari dua malam.Setelah beberapa hari menghiliri Sungai Batanghari kedua Angsa naik ke darat di sebelah hilir (Kampung Jam), kampung Tenadang namanya pada waktu itu. Dan sesuai dengan amanah mertuanya maka Orang Kayo Hitam dan istrinya Putri Mayang Mangurai beserta pengikutnya mulailah membangun kerajaan baru yang kemudian disebut "Tanah Pilih", dijadikan sebagai pusat pemerintahan kerajaannya (Kota Jambi) sekarang ini.
Asal Nama "Jambi"'Jambi' berasal dari kata 'Jambe' dalam bahasa Jawa yang berarti 'Timur'. Kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan situs pembangunan pemerintah baru, pepohonan pinang banyak tumbuh disepanjang aliran sungai Batanghari, sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.
"Sepucuk Jambi, Sembilan Lurah"Seloka ini tertulis di lambang Propinsi Jambi, menggambarkan luasnya wilayah Kesultanan Melayu Jambi yang mencakup sembilan lurah dikala pemerintahan Orang Kayo Hitam, yaitu: VIII-IX Koto, Petajin, Muaro Sebo, Jebus, Aer Itam, Awin, Penegan, Miji dan Binikawan. Ada juga yang berpendapat bahwa wilayah Kesultanan Jambi dahulu meliputi 9 lurah yang dialiri oleh anak-anak sungai (batang), masing-masing bernama:
1. Batang Asai
2. Batang Merangin
3. Batang Masurai
4. Batang Tabir
5. Batang Senamat
6. Batang Jujuhan
7. Batang Bungo
8. Batang Tebo dan
9. Batang Tembesi. Batang-batang ini merupakan Anak Sungai Batanghari yang keseluruhannya itu merupakan wilayah Kesultanan Melayu Jambi.
Daftar Sultan Jambi (1790-1904)
1790 - 1812 Mas'ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga
1812 - 1833 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
1833 - 1841 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
1841 - 1855 Abdurrahman Nazaruddin bin Mahmud
1855 - 1858 Thaha Safiuddin bin Muhammad (1st time)
1858 - 1881 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
1881 - 1885 Muhammad Muhieddin bin Abdurrahman
1885 - 1899 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
1900 - 1904 Thaha Safiuddin bin Muhammad (2nd time)
1904 Dihancurkan Belanda
Resmi Jadi Provinsi
Dari berbagai buku sejarah dan literatur yang diperoleh dari website Provinsi Jambi, cikal bakal Provinsi Jambi dimulai dari Karesidenan. Kata “karesidenan”, berasal dari Bahasa Belanda Residentie. Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah Provinsi di Hindia-Belanda dan kemudian Indonesia hingga tahun 1950-an dimana dibagi dalam beberapa afdeeling (kabupaten). Jambi ditetapkan sebagai karesidenan pada tanggal 27 April 1904, setelah gugurnya Sultan Thaha Saifuddin dan berakhirnya masa Kesultanan Jambi. Ketika itu Belanda berhasil menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi. Awalnya Karesidenan Jambi masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie.
1. Muara Jambi-beribukota di Sengeti
2. Bungo-beribukota di Muaro Bungo
3. Tebo-beribukota di Muaro Tebo
4. Sarolangun-beribukota di Sarolangun Kota
5. Merangin / Bangko-beribukota di Kota Bangko
6. Batanghari-beribukota di Muara Bulian
7. Tanjung Jabung Barat-beribukota di Kuala Tungkal
8. Tanjung Jabung Timur-beribukota di Muara Sabak
9. Kerinci-beribukota di Sungai Penuh
Jika Anda melancong ke Jambi, pastikan anda mencoba Lempok & kueh2 Durian, Mee Tek-Wan, Kopi Jambi, Batik Jambi dan Songket Melayu Jambi. Semuanya tersedia di Pasar Besar Angso Duo, Kota Jambi.
Tempat Menarik di Jambi:
-Archaelogical situs: Muara Jambi Kompleks Candi (8 kuil dari Malayu / Sriwijayan era), Batu Bertulis "Karang Birahi" (Surat bertulis di batu) di Merangin
-Makam: Pahlawan Nasional Sultan Syaifuddin Thana, Orang Kayo Hitam
-Museum Negeri Jambi
-Gardens: Kebun Raya, Anggrek Taman, Anggrek Taman, Mayang Mangurai Taman dengan Jambi-Tradisional kompleks House, Rimba Taman,
-Air terjun & Lake: Kerinci Air terjun, Air Terjun Telun, Air Terjun Telun Berasap, Rantau Pandai Waterfall (2 tingkat), Ladeh Panjang Lake, Danau Kerinci, Air Panas Bumi (Bumi Air Panas) di dekat Danau Kerinci, Danau Sipin,
-Pegunungan & Caves: Gunung Kerinci, Tiangkap Gua Alam, Tiangko dan Gua Segerincing, Hitam Ulu Kawah, Gunung Raya, Gunung Mesjid, Gunung Kebongsong, Bukit Kaca (Glass Hill), Gunung Patah Tiga, Gunung Masurai,
-Taman Nasional: Taman Nasional Berbak, Padang Satwa Inum Raya, Hitam Bulian Konservasi Alam, Bukit Dua Belas (Dua Belas Hills), Bukit Tigapuluh, Berbak & Kerinci Seblat.
-Pantai: Aur Duri Pantai
Di Pulau Sumatera, Provinsi Jambi merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901). Kesultanan ini memang tidak berhubungan secara langsung dengan 2 kerajaan Hindu-Budha pra-Islam. Sekitar Abad 6 - awal 7 M berdiri KERAJAAN MALAYU (Melayu Tua) terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Catatan Dinasti Tang mengatakan bahwa awak Abad 7 M. dan lagi pada abad 9 M Jambi mengirim duta / utusan ke Kekaisaran Cina (Wang Gungwu 1958; 74). Pemerintah ini bersaing dengan SRI WIJAYA untuk menjadi pusat perdagangan. Letak Malayu yang lebih dekat ke jalur pelayaran Selat Malaka menjadikan Sri Wijaya merasa terdesak sehingga harus menyerang Malayu sehingga akhirnya tunduk kepada Sri Wijaya. Muaro jambi, sebuah kompleks percandian di hilir Jambi mungkin dulu bekas pusat belajar agama Budha sebagaimana catatan pendeta Cina I-Tsing yang berlayar dari India pada tahun 671. Ia belajar di Sriwijaya selama 4 tahun dan kembali pada tahun 689 bersama empat pendeta lain untuk menulis dua buku tentang ziarah Budha. Saat itulah ia tulis bahwa Kerajaan Malayu kini telah menjadi bagian Sri Wijaya.
Abad ke 11 M setelah Sri Wijaya mulai pudar, ibu kota dipindahkan ke Jambi (Wolters 1970:2). Inilah KERAJAAN MALAYU (Melayu Muda) atau dharmasraya berdiri di Muara Jambi. Sebagai sebuah kota yang besar, Jambi juga menghasilkan berbagai rempah-rempahan dan kayu-kayuan. Sebaliknya dari pedagang Arab, mereka membeli kapas, kain dan pedang. Dari Cina, sutera dan benang emas, sebagai bahan baku kain tenun songket (Hirt & Rockhill 1964; 60-2). Tahun 1278 Ekspedisi Pamalayu dari Singasari di Jawa Timur menguasai kerajaan ini dan membawa serta putri dari Raja Malayu untuk dinikahkan dengan Raja Singasari. Hasil perkawinan ini adalah seorang pangeran bernama Adityawarman, yang setelah cukup umur dinobatkan sebagai Raja Malayu. Pusat kerajaan inilah yang kemudian dipindahkan oleh Adityawarman ke Pagaruyung dan menjadi raja pertama sekitar tahun 1347. Di Abad 15, Islam mulai menyebar ke Nusantara.
KESULTANAN JAMBI
"Tanah Pilih Pesako Betuah". Seloka ini tertulis di lambang Kota Jambi hari ini. Dimana menurut orang tua-tua pemangku adat Melayu Jambi, Konon Tuanku Ahmad Salim dari Gujarat berlabuh di selat Berhala, Jambi dan mengislamkan orang-orang Melayu disitu, ia membangun pemerintahan baru dengan dasar Islam, bergelar Datuk Paduko Berhalo dan menikahi seorang putri dari Minangkabau bernama Putri Selaras Pinang Masak. Mereka dikaruniai Allah 4 anak, semuanya menjadi datuk wilayah sekitar kuala tersebut. Adapun putra bungsu yang bergelar Orang Kayo Hitam berniat untuk memperluas wilayah sampai ke pedalaman, jika ada tuah, membangun sebuah pemerintahan baru. Maka ia lalu menikahi anak dari Temenggung Merah Mato bernama Putri Mayang Mangurai. Oleh Temenggung Merah Mato, anak dan menantunya itu diberilah sepasang Angsa dan Perahu Kajang lako. Kepada anak dan menantunya tersebut dipesankan agar menghiliri aliran Sungai Batanghari untuk mencari tempat guna mendirikan pemerintah yang baru itu dan bahwa tempat yang akan dipilih sebagai situs pemerintah baru nanti haruslah tempat dimana sepasang Angsa bawaan tadi mau naik ke tebing dan mupur di tempat tersebut selama dua hari dua malam.Setelah beberapa hari menghiliri Sungai Batanghari kedua Angsa naik ke darat di sebelah hilir (Kampung Jam), kampung Tenadang namanya pada waktu itu. Dan sesuai dengan amanah mertuanya maka Orang Kayo Hitam dan istrinya Putri Mayang Mangurai beserta pengikutnya mulailah membangun kerajaan baru yang kemudian disebut "Tanah Pilih", dijadikan sebagai pusat pemerintahan kerajaannya (Kota Jambi) sekarang ini.
Asal Nama "Jambi"'Jambi' berasal dari kata 'Jambe' dalam bahasa Jawa yang berarti 'Timur'. Kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan situs pembangunan pemerintah baru, pepohonan pinang banyak tumbuh disepanjang aliran sungai Batanghari, sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.
"Keris Siginjai"Hubungan Orang Kayo Hitam dengan tanah Jawa digambarkan dalam cerita orang tuo-tuo yang mengatakan bahwa Orang Kayo Hitam pergi ke Majapahit untuk mengambil Keris bertuah, dan kelak akan menjadi sebagai keris pusaka Kesultanan Jambi. Keris itu dinamakan 'Keris Siginjai'. Keris Siginjai terbuat dari bahan-bahan berupa kayu, emas, besi dan nikel. Keris Siginjai menjadi pusaka yang dimiliki secara turun temurun oleh Kesultanan Jambi. Selama 400 tahun keris Siginjai tidak hanya sekadar lambang mahkota kesultanan Jambi, tapi juga sebagai lambang pemersatu rakyat Jambi.Sultan terakhir yang memegang benda kerajaan itu adalah Sultan Achmad Zainuddin pada awal abad ke 20. Selain keris Siginjai ada sebuah keris lagi yang dijadikan mahkota kerajaan yaitu keris Singa Marjaya yang dipakai oleh Pangeran Ratu (Putra Mahkota). Pada tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat keturunan Sultan Thaha yang terakhir menyerahkan keris Singa Marjaya kepada Residen Palembang sebagai tanda penyerahan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyimpan Keris Siginjai dan Singa Marjaya di Museum Nasional (Gedung Gajah) di Batavia (Jakarta).
1. Batang Asai
2. Batang Merangin
3. Batang Masurai
4. Batang Tabir
5. Batang Senamat
6. Batang Jujuhan
7. Batang Bungo
8. Batang Tebo dan
9. Batang Tembesi. Batang-batang ini merupakan Anak Sungai Batanghari yang keseluruhannya itu merupakan wilayah Kesultanan Melayu Jambi.
Daftar Sultan Jambi (1790-1904)
1790 - 1812 Mas'ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga
1812 - 1833 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
1833 - 1841 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
1841 - 1855 Abdurrahman Nazaruddin bin Mahmud
1855 - 1858 Thaha Safiuddin bin Muhammad (1st time)
1858 - 1881 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
1881 - 1885 Muhammad Muhieddin bin Abdurrahman
1885 - 1899 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
1900 - 1904 Thaha Safiuddin bin Muhammad (2nd time)
1904 Dihancurkan Belanda
Resmi Jadi Provinsi
Dari berbagai buku sejarah dan literatur yang diperoleh dari website Provinsi Jambi, cikal bakal Provinsi Jambi dimulai dari Karesidenan. Kata “karesidenan”, berasal dari Bahasa Belanda Residentie. Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah Provinsi di Hindia-Belanda dan kemudian Indonesia hingga tahun 1950-an dimana dibagi dalam beberapa afdeeling (kabupaten). Jambi ditetapkan sebagai karesidenan pada tanggal 27 April 1904, setelah gugurnya Sultan Thaha Saifuddin dan berakhirnya masa Kesultanan Jambi. Ketika itu Belanda berhasil menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi. Awalnya Karesidenan Jambi masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie.
Residen Jambi yang pertama, O.L Helfrich yang diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei 1906 dan pelantikannya dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906. Kekuasaan Belanda atas Jambi berlangsung ± 36 tahun, karena pada tanggal 9 Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang. Dan pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada Sekutu.
Tanggal 17 Agustus 1945, diproklamirkanlah Negara Republik Indonesia. Sumatera di saat Proklamasi tersebut menjadi satu provinsi yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibu kotanya, serta MR Teuku Muhammad Hasan ditunjuk memegangkan jabatan gubernur.
Pada tanggal 18 April 1946, Komite Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukittinggi dan memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari tiga sub provinsi, yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Sub Provinsi Sumatera Tengah mencakup Karesidenan Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Tarik menarik Karesidenan Jambi untuk masuk ke Sumatera Selatan atau Sumatera Tengah, ternyata cukup alot dan akhirnya ditetapkan dengan pemungutan suara pada Sidang KNI Sumatera tersebut sehingga Karesidenan Jambi masuk ke Sumatera Tengah. Sub-sub provinsi dari Provinsi Sumatera ini kemudian dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1948 ditetapkan sebagai provinsi.
Dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Karesidenan Jambi saat itu, terdiri dari dua kabupaten dan satu Kota Praja Jambi. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Merangin yang mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro Bungo, Bangko dan Batanghari terdiri dari Kewedanaan Muara Tembesi, Jambi Luar Kota, dan Kuala Tungkal.
Masa terus berjalan, banyak pemuka masyarakat yang ingin Karesidenan Jambi menjadi bagian Sumatera Selatan dan di bagian lain ingin tetap bahkan ada yang ingin berdiri sendiri. Sementara, Kerinci kembali dikehendaki masuk Karesidenan Jambi. Hal ini karena sejak tanggal 1 Juni 1922, Kerinci yang tadinya bagian dari Kesultanan Jambi dimasukkan ke Karesidenan Sumatera Barat. Tepatnya menjadi bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK).
Tuntutan Karesidenan Jambi menjadi Daerah Tingkat I Provinsi diangkat dalam Pernyataan Bersama antara Himpunan Pemuda Merangin Batanghari (HP.MERBAHARI) dengan Front Pemuda Jambi (FROPEJA) tanggal 10 April 1954 yang diserahkan langsung kepada Bung Hatta, Wakil Presiden RI di Bangko, yang ketika itu berkunjung kesana. Penduduk Jambi saat itu tercatat kurang lebih 500.000 jiwa (tidak termasuk Kerinci).
Keinginan tersebut diwujudkan kembali dalam Kongres Pemuda Se-Daerah Jambi 30 April - 3 Mei 1954 dengan mengutus tiga orang delegasi yaitu Rd. Abdullah, AT Hanafiah dan H. Said serta seorang penasehat delegasi yaitu Bapak Syamsu Bahrun menghadap Mendagri Prof. DR.MR Hazairin.
Berbagai kebulatan tekad setelah itu bermunculan baik oleh gabungan parpol, Dewan Pemerintahan Marga, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Merangin, Batanghari. Puncaknya, pada Kongres Rakyat Jambi 14 - 18 Juni 1955 di gedung Bioskop Murni, terbentuklah wadah perjuangan Rakyat Jambi bernama Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD) untuk mengupayakan dan memperjuangkan Jambi menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi Jambi.
Pada Kongres Pemuda Se-Daerah Jambi tanggal 2 - 5 Januari 1957, mendesak BKRD menyatakan Karesidenan Jambi secara de facto menjadi provinsi selambat-lambatnya tanggal 9 Januari 1957.
Sidang Pleno BKRD tanggal 6 Januari 1957 pukul 02.00, dengan resmi menetapkan Karesidenan Jambi menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi yang berhubungan langsung dengan pemerintah pusat dan keluar dari Provinsi Sumatera Tengah. Dewan Banteng selaku penguasa pemerintah Provinsi Sumatera Tengah yang telah mengambil alih Pemerintahan Provinsi Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 9 Januari 1957, selanjutnya menyetujui keputusan BKRD.
Pada tanggal 8 Februari 1957, Ketua Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein melantik Residen Djamin gr. Datuk Bagindo sebagai Acting Gubernur dan H. Hanafi sebagai Wakil Acting Gubernur Provinsi Djambi, dengan staf 11 orang yaitu Nuhan, Rd. Hasan Amin, M. Adnan Kasim, H.A. Manap, Salim, Syamsu Bahrun, Kms. H.A.Somad, Rd. Suhur, Manan, Imron Nungcik dan Abd Umar yang dikukuhkan dengan SK No. 009/KD/U/L KPTS tertanggal 8 Februari 1957 dan sekaligus meresmikan berdirinya Provinsi Jambi di halaman rumah Residen Jambi (kini Gubernuran Jambi).
Pada tanggal 9 Agustus 1957, Presiden RI Soekarno akhirnya menandatangani UU Darurat No. 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi di Denpasar, Bali. Dengan UU No. 61 tahun 1958 tanggal 25 Juli 1958, UU Darurat No. 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Djambi dan Riau (UU tahun 1957 No. 75) ditetapkan sebagai undang-undang.
Dalam UU No. 61 tahun 1958 disebutkan pada pasal 1 hurup b, bahwa daerah Swatantra Tingkat I Jambi, wilayahnya mencakup wilayah daerah Swatantra Tingkat II Batanghari, Merangin, dan Kota Praja Jambi serta Kecamatan-Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah dan Hilir.
Kelanjutan UU No. 61 tahun 1958 tersebut pada tanggal 19 Desember 1958, Mendagri Sanoesi Hardjadinata mengangkat dan menetapkan Djamin gr. Datuk Bagindo Residen Jambi sebagai Dienst Doend DD Gubernur (residen yang ditugaskan sebagai Gubernur Provinsi Jambi dengan SK Nomor UP/5/8/4). Kemudian, pejabat gubernur pada tanggal 30 Desember 1958 meresmikan berdirinya Provinsi Jambi atas nama Mendagri di Gedung Nasional Jambi (sekarang gedung BKOW). Kendati secara de jure Provinsi Jambi ditetapkan dengan UU Darurat 1957 dan kemudian UU No. 61 tahun 1958, tetapi dengan pertimbangan sejarah asal-usul pembentukannya oleh masyarakat Jambi melalui BKRD, maka tanggal Keputusan BKRD 6 Januari 1957 ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jambi. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Djambi Nomor 1 tahun 1970 tanggal 7 Juni 1970 tentang Hari Lahir Provinsi Djambi. (dari berbagai sumber)
Wilayah propinsi Jambi pun terbagi atas 1 Bandar Ibukota (Jambi) dan 9 daerah-mungkin agar sesuai seloka adat tadi-. Tetapi nama daerahnya telah berubah, yaitu: 1. Muara Jambi-beribukota di Sengeti
2. Bungo-beribukota di Muaro Bungo
3. Tebo-beribukota di Muaro Tebo
4. Sarolangun-beribukota di Sarolangun Kota
5. Merangin / Bangko-beribukota di Kota Bangko
6. Batanghari-beribukota di Muara Bulian
7. Tanjung Jabung Barat-beribukota di Kuala Tungkal
8. Tanjung Jabung Timur-beribukota di Muara Sabak
9. Kerinci-beribukota di Sungai Penuh
Jika Anda melancong ke Jambi, pastikan anda mencoba Lempok & kueh2 Durian, Mee Tek-Wan, Kopi Jambi, Batik Jambi dan Songket Melayu Jambi. Semuanya tersedia di Pasar Besar Angso Duo, Kota Jambi.
Tempat Menarik di Jambi:
-Archaelogical situs: Muara Jambi Kompleks Candi (8 kuil dari Malayu / Sriwijayan era), Batu Bertulis "Karang Birahi" (Surat bertulis di batu) di Merangin
-Makam: Pahlawan Nasional Sultan Syaifuddin Thana, Orang Kayo Hitam
-Museum Negeri Jambi
-Gardens: Kebun Raya, Anggrek Taman, Anggrek Taman, Mayang Mangurai Taman dengan Jambi-Tradisional kompleks House, Rimba Taman,
-Air terjun & Lake: Kerinci Air terjun, Air Terjun Telun, Air Terjun Telun Berasap, Rantau Pandai Waterfall (2 tingkat), Ladeh Panjang Lake, Danau Kerinci, Air Panas Bumi (Bumi Air Panas) di dekat Danau Kerinci, Danau Sipin,
-Pegunungan & Caves: Gunung Kerinci, Tiangkap Gua Alam, Tiangko dan Gua Segerincing, Hitam Ulu Kawah, Gunung Raya, Gunung Mesjid, Gunung Kebongsong, Bukit Kaca (Glass Hill), Gunung Patah Tiga, Gunung Masurai,
-Taman Nasional: Taman Nasional Berbak, Padang Satwa Inum Raya, Hitam Bulian Konservasi Alam, Bukit Dua Belas (Dua Belas Hills), Bukit Tigapuluh, Berbak & Kerinci Seblat.
-Pantai: Aur Duri Pantai
0 Komentar Untuk "Melayu Dan Kesultanan Jambi"
Post a Comment